Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Sesekali Guru Juga Perlu Bersikap "Bodo Amat"!

14 Desember 2020   23:29 Diperbarui: 15 Desember 2020   00:27 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ah, saya tak terlalu peduli dengan kata serta sikap orang. Terpenting tugas saya hari ini saya jalankan. Saya masuk hari ini, sebagaimana jadwal sekolah yang ditetapkan. Terserah mereka mau menilai saya sok rajin, sok peduli. Terserah mereka juga mau masuk ataupun tidak. Bodo Amat!"

Kalimat tersebut diucapkan oleh seorang guru senior di sebuah SD negeri sesaat jelang pulang sekolah.

Semenjak pandemi, hawa di sekolah menjadi cukup berbeda. Pertemuan antar sesama guru jadi terpangkas sebagai imbas diberlakukannya PJJ. Karena fasilitasnya tak memungkinkan, sekolah tersebut hanya menggelar pembelajaran tatap muka seminggu sekali dengan kondisi khusus.

Alhasil, sistem pengajaran, piket guru, hingga jadwal pelajaran pun berubah. Sangat disayangkan. Sistem baru yang sudah diketok palu secara musyawarah tidak berjalan dengan semestinya. Ada pihak yang tetap bersemangat, dan sebagian darinya "angin-anginan".

Kalau ditanya mengapa angin-anginan, "dalih terbaik" untuk menjawabnya masih dipegang oleh kata "pandemi". Terang saja, sudah hampir setahun ekstrakuliker berhenti sehingga pemasukan seorang guru dari sana juga disetop.

Dilema, kah? Mungkin iya. Tak bisa kita berbicara lebih jauh. Sedangkan di sisi lain, eksistensi sekolah juga selalu diamati oleh warga sekitar.

Sederhananya begini, kalau sekolah tutup karena dewan guru dan staf tidak ada yang datang piket, maka persepsi masyarakat sekitar jadi aneh-aneh. Hal tersebut dalam kelanjutannya akan berpengaruh besar terhadap reputasi sekolah.

Tapi, permasalahannya adalah, sejauh mana guru dan segenak pihak peduli dengan sekolah?

Mengajar di SD negeri menjadi tantangan tersendiri bagi seorang guru. Terlebih lagi ketika guru yang dimaksud telah menetap di desa dekat sekolah. Sudah pasti banyak mata yang memandang sang guru. Bahkan, apa-apa yang terjadi di sekolah seringkali disangkut-pautkan kepadanya.

Dibandingkan dengan guru di SD yang sama namun tinggal di desa lain, secara tidak langsung bebannya memang lebih berat. Apalagi jika guru yang dimaksud sudah cukup senior, maka kepedulian yang ditampakkan juga perlu seimbang dengan title "senior".

Namun, kepedulian dengan tingkatan "senior" tidak selalu disenangi oleh rekan kerja. Bukan salah si pihak yang peduli, melainkan si rekan kerja yang cenderung iri. Dalam ruang kerja, fenomena seperti ini sesekali pernah terjadi, bukan?

Agaknya, di situasi seperti inilah sesekali seorang guru perlu meluruskan hati dan dirinya, yaitu dengan cara bersikap "bodo amat".

Sesekali Guru Juga Perlu Bersikap "Bodo Amat"

Bukankah kepedulian terhadap sekolah itu sangat berharga?

Bukankan kepedulian terhadap amanah profesi itu sangat berharga?

Barangkali kita setuju sepenuhnya dengan ungkapan Mark Manson selaku penggores kata dalam buku "Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat" yang mengatakan bahwa kepedulian terhadap sesuatu yang berharga adalah syarat munculnya kedewasaan. Tetapi, bagi guru?

Rasanya bukan hanya kedewasaan diri secara pribadi yang dituju, melainkan juga kedewasaan terhadap profesi. Kedewasaan agar kepedulian seorang guru tetap teguh serta tidak tergerus oleh rasa iri.

Di luar sana, memang banyak guru yang mengaku peduli dengan dirinya, profesinya, hingga eksistensi sekolah tempat mengajarnya. Tetapi, sejauh mana kepedulian itu tetap teguh, adalah pernyataan yang sulit untuk kita jawab.

Apakah kepedulian seorang guru akan runtuh gara-gara gaji sertifikasi telat, gara-gara mendengar wacana sistem gaji anak dirombak, gara-gara dipandang oleh rekan kerja "terlalu" rajin, jawabannya dikembalikan lagi kepada pribadi guru yang dimaksud.

Ketika kepedulian yang selama ini diwujudkan oleh guru adalah untuk memajukan sekolahnya, ketika itu pula sikap "bodo amat" sesekali perlu dilakukan. Alasan melakukannya mungkin cukup sederhana:

"Ketika kita peduli saja ada orang yang merasa tidak suka, bagaimana bila kita sudah antipati!"

Terhadap hawa-hawa negatif, rasanya bolehlah sesekali guru tutup telinga dengan berbagai pandangan keirian. Bukan kepedulian si guru yang salah, melainkan hati si pengiri yang kurang lapang.

Kalau seorang guru yang tadinya peduli malah sering mendengar nada-nada negatif bin sumbang, khawatirnya kepedulian yang sudah dikuatkan dalam hati itu jadi goyah.

Sedangkan seorang ulama besar Imam Syafi'i saja ketika berjalan ke pasar, beliau sumbat kedua telinganya agar tak banyak mendengar percakapan nirfaedah di pasar. Secara tidak langsung, sikap beliau telah mengajarkan kepada kita agar tak perlu mendengar kata-kata yang tak berguna.

Bodo Amat!

Dalam sebuah situasi ruang kerja yang renggang, terkadang sangat perlu digaungkan alasan dari sebuah kepedulian. Bukannya ingin menunjukkan kepada orang lain bahwa kita sedang peduli, melainkan mengingatkan diri dan semua orang agar kembali ke "jalan profesi yang benar".

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun