Yang berubah hanyalah peristiwanya, dan peristiwa tersebut terlihat semakin kompleks ketika bercampur dengan masalah. Tinggal lagi, bagaimana kebijaksanaan diri dalam menghadapinya.
Ibuku hebat! Literasi dasar baca tulis yang beliau ajarkan ternyata merupakan literasi dasar membaca kehidupan.
Ibuku adalah Sekolah Sekaligus Guru Literasi Numerasi dan Finansial Kehidupan
Kalau sudah berkisah tentang literasi angka, kurang lengkap rasanya jika numerasi tidak disandingkan dengan finansial. Menurutku, keduanya berhubungan erat, terutama dalam kehidupan di abad ke-21 ini.
Jika di sekolah formal kita kebanyakan belajar tentang operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, dan sebagainya, ternyata di sekolah kehidupan tuntutan literasi numerasi serta finansial jadi bertambah. Buktinya?
Belum lama ini, Sekretaris Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) Ahmad Solichin Lutfiyanto membeberkan data bahwa tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia baru mencapai 37%. Hal ini tidak seimbang dengan inklusi keuangan di Indonesia yang sudah mendekati angka 80%.
Artinya, untuk program jangka panjang, diperlukan peningkatan literasi finansial sejak dini, karena memang kecakapan literasi tidak bisa didapat semudah membalikkan telapak tangan.
Kenyataannya, ketika kita mendekatkan literasi numerasi dan finansial dengan kehidupan, tuntutan kecakapan seorang anak malah semakin diminta untuk lebih dari sekadar aplikasi operasi hitung.
Untuk menggapai kecakapan tersebut, aku belajar banyak dari Ibu. Sejak kecil, aku suka diajak Ibuku ke pasar tradisional. Setiap kali pergi ke pasar, setiap itu pulalah aku melihat Ibu membeli jengkol, bawang merah, bawang putih, serta beberapa jenis sayur mayur lainnya.
Tapi, di sisi lain, aku malah malu sendiri ketika mendampingi Ibuku waktu itu. Terang saja, beliau hanya membeli jengkol sebanyak 250 gram, bawang putih dan bawang merah juga hanya beberapa biji saja.
Pertanyaanku dalam hati, "mengapa kok Ibuku tidak beli masing-masing 1 kilogram saja?"