Alasannya jelas, karena di masa normal, teknologi pendidikan bukanlah sebuah tuntutan. Toh, kemarin kita disibukkan dengan sistem full day school, kan?
Ya, pemerintah sibuk menetapkan durasi belajar tatap muka dan jatah libur. Sedangkan para orang tua harus mendesain ulang antara pekerjaan dengan waktu untuk menjemput anak-anak mereka. Coba PJJ sudah akrab di zaman itu, pasti keren!
PJJ adalah Bukti Bahwa Digitalisasi Pendidikan Semestinya Bukan Sekadar Teori
Digitalisasi pendidikan adalah teori belaka? Bisa jadi. Terlebih lagi pada momentum kekagetan Mas Nadiem tentang kesenjangan pendidikan di awal pandemi kemarin. Mas Mendikbud terkejut karena masih ada sekolah yang tidak teraliri listrik, juga tidak bersinyal.
Gara-gara itu, harapan digitalisasi pendidikan seakan jadi tabu karena Mas Menterinya sendiri masih buram dengan seberapa besar jarak kesenjangan kualitas pendidikan antara pusat dan daerah.
Alhasil, bagi sekolah yang jauh di sudut sana, semakin jelaslah bahwa digitalisasi pendidikan hanya sekadar teori bagi mereka.
Lalu, bagaimana caranya agar PJJ bisa dijadikan bukti bahwa digitalisasi pendidikan harus menghapus kesenjangan? Yang jelas, tidak cukup hanya sekadar mindset dan konsep sederhana.
Beberapa waktu yang lalu Mas Mendikbud sempat menuturkan bahwa salah satu konsep sederhana mengenai reformasi pendidikan di bidang kurikulum adalah memberikan kemerdekaan kepada guru-guru untuk mengajar pada level yang cocok dengan muridnya.
Mindset mengajar berdasarkan level kebutuhan belajar siswa memang penting, tapi ketika kita mengaitkannya dengan percepatan digitalisasi pendidikan di sekolah, maka level "kemengertian" belajar siswa di "sekolah berteknologi" akan jauh berbeda dengan mereka yang berada di sekolah pelosok.
Dengan demikian, hal penting yang perlu dipikirkan adalah bagaimana caranya agar kehadiran dan percepatan digitalisasi pendidikan itu tidak malah membuat kesenjangan pendidikan semakin lebar.
Untuk itulah, harapan percepatan digitalisasi pendidikan di sekolah 3T perlu dibarengi dengan pemetaan khusus sembari berkoordinasi dengan dinas pendidikan daerah setempat. Soalnya, sekolah 3T sendiri memiliki beragam kekurangan yang saya kira tak dapat disama-ratakan.
Misalnya, sekolah A gedungnya baru direnovasi, tapi akses sinyal belum ada. Sekolah B, siswanya sangat sedikit, dan ruang kelas masih bersekat. Sedangkan sekolah C, akses jalannya masih sangat sulit untuk dilalui oleh kendaraan.