Hebatnya, Guru Motivator, Pak Aris Ahmad Jaya menerangkan bahwa "guru kebetulan" bisa menjadi "guru betulan". Dan sejauh pandang saya, untuk menjadi "guru betulan", diperlukan penanaman harapan yang terkait dengan pendidikan.
Semisal, dari hasil belajar hari ini, semoga anak-anak bisa terinspirasi dan semangat mereka tak terkalahkan walaupun sedang ada pandemi. Dari sini, guru akan lebih serius untuk meracik pembelajaran yang menginspirasi. Bekalnya ialah harapan dan semangat tadi.
Kedua, Harapan Menjadikan Guru "Layak" Dicintai dan Dirindukan
Berharap itu gratis, belum ada sejarah bahwa pengharapan itu di-upgrade secara premium alias berbayar. Kalaupun nanti berharap itu bayar, maka akan semakin ramailah para penduduk yang berputus asa. Termasuklah kita para guru.
Mengajar sejatinya tidak hanya sekadar transfer ilmu atau fotokopi tugas dari buku. Mengajar juga perlu diikuti penanaman harapan. Harapan agar anak didik kita menjadi pribadi yang berkarakter, hebat, serta membanggakan diri, orang tua serta negeri.
Ketika seorang siswa sudah punya harapan, biasanya mereka akan selalu ingat dengan siapa-siapa saja guru yang telah menanamkan mereka mimpi. Di sanalah kemudian kita sebagai seorang guru akan dicintai dan selalu dirindukan oleh siswa.
Kalaulah guru sekadar datang, duduk di kelas nyata maupun kelas virtual, kemudian memberi tugas, maka entah kapan si siswa akan merindukan sang guru. Malahan, bisa jadi para siswa menebar harap agar sang guru yang seperti ini absen.
Maka dari itulah sering ditemukan kasus bahwa siswa enggan mengerjakan tugas. Mereka mungkin mau menyelesaikan tugas, tapi sayang, para siswa tadi belum "merasa" bahwa gurunya dirindukan maupun dicintai.
Bukankah ketika guru sudah dicintai, maka pelajarannya akan ikut dicintai juga?
Ketiga, Tanpa Adanya Harapan, Guru Akan Tersesat
Agaknya, guru yang punya harapan adalah guru yang telah berjalan pada "arah" yang benar. Harapan terhadap pendidikan adalah impian, dan impian akan menghadirkan tujuan yang kemudian disusun dalam strategi maupun rencana.
Andai guru tak punya tujuan, tak punya arah, maka guru tadi bisa jadi tersesat dan menyesatkan. Guru tersesat karena tidak tahu mau dibawa ke mana kurikulum ajar yang telah ia bawa.
Syahdan, mengapa guru tanpa harapan disebut menyesatkan? Gara-gara guru tak berenergi, tak punya target, dan tak punya arah, para siswa bisa saja membenci pembelajaran.
Contohnya seperti ini. Misal, selama ini siswa sangat menyukai pelajaran Fisika. Namun, ketika guru Fisika yang hadir mengajar tanpa arah, harapan, dan tujuan yang jelas, maka siswa bisa jadi tidak lagi suka dengan pelajaran Fisika. Bukan karena pelajarannya, melainkan sikap dari guru.