Rasanya baru lima belas purnama aku begadang. Di setiap pergantian purnama, aku sehat-sehat saja walau hanya sesekali curi waktu untuk tidur. Tapi sekarang aku mulai mengantuk.
Ketika para nyamuk mengetuk-ngetuk pintu, aku sedang sibuk membasuh wajah. Aku mencuci kaki, gosok gigi, juga ingin mematikan lampu demi meninggalkan harap.
"Tunggulah kau di teras, jangan masuk ke rumahku!"
Aku sudah mengantuk. Lagi, aku mengulang kalam itu. Tidak ada apa-apa di dalam rumahku. Mereka tak perlu memaksa untuk masuk. Ini sudah terlalu jauh. Juga sudah terlalu malam. Aku takut esok pagi tak terbangun lagi. Lalu aku tak bisa membukakan pintu.
Apa salahnya mereka duduk dan menunggu di teras rumah. Kalaupun gelap, rembulan masih ada. Tidak akan kalah gemerlapnya dengan strongking petromak yang aku nyalakan di ruang tamu.
Apa salahnya jika rumahku terang di malam gelap. Apa salahnya jika rumahku gelap di tengah terang. Semua baik-baik saja dalam doa. Yang gelap akan susah bila mereka paksakan untuk terang.
Mereka tak perlu masuk ke ruang keluarga di tengah malam. Aku masih sendiri. Pun, mereka pula tak perlu bertamu dari ruang dapur. Ketuklah tiga kali saja dan tunggu di pintu teras. Kalau aku tak kunjung hadir, maka pulanglah.
Sebentar lagi aku akan tidur. Kalau mereka terus mengetuk-ngetuk pintu dengan keras, aku akan segera pindah ke rumah lain. Sudah. Aku ingin tidur. Bahkan, aku ingin agar esok pagi purnama kembali menjadi yang pertama.
Curup, 3 November 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H