Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pandemi Semestinya Membuat Akselerasi Kebijakan Merdeka Belajar Lebih "Ngebut"

27 Oktober 2020   17:45 Diperbarui: 27 Oktober 2020   18:00 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Program Merdeka Belajar. Dok. Kemendikbud via KOMPAS

Kira-kira sudah 8 bulan pandemi covid-19 menghantui Bumi Pertiwi tercinta. Efeknya, terutama di bidang pendidikan sangat terasa. Kesenjangan antara kualitas pendidikan di pusat dan daerah semakin tampak, sedangkan dalam tajuk rencana, kesenjangan harus segera dipupuskan.

Alhasil, adalah kewajaran bila kemudian kedua bola mata publik tertuju kepada sang nahkoda. Ialah Mas Mendikbud Nadiem Makarim, Sang visioner yang diharapkan mampu memimpin kereta Merdeka Belajar untuk berjalan lebih gesit.

Namun, kita sama-sama sudah tahu bahwa lirikan mata publik cukup intens. Seperti halnya pemberitaan yang baru-baru ini hadir di tengah pandemi, Mas Nadiem bersama Kemendikbud diberi nilai merah oleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) atas "perjuangannya".

Diterangkan oleh pengurus FSGI cabang Mataram (NTT), Mansur menyebut bahwa dari 8 kebijakan yang dinilai, Kemendikbud mendapat nilai rata-rata di bawah KKM. KKM FSGI adalah 75, sedangkan Kemendikbud hanya mampu meraih nilai rata-rata 68. Berikut sajiannya:

Nilai rapor Mas Nadiem dari FSGI. Diolah dari KOMPAS.com
Nilai rapor Mas Nadiem dari FSGI. Diolah dari KOMPAS.com

Dari data nilai rapor Mas Mendikbud di atas, terlihat ada 5 kebijakan yang merah alias berada di bawah KKM. Mulai dari kebijakan POP, PJJ, Relaksasi dana BOS, program Merdeka Belajar, hingga Asesmen Nasional.

Sekarang, langsung saja kita fokus kepada kebijakan Merdeka Belajar. 60 adalah nilai merah yang FSGI hadiahkan untuk Mas Nadiem. Kalau saya ingat-ingat kembali, 60 ini adalah KKM nilai rapor sewaktu SD. Periode tahun 2000-2005.

Kembali mengulik kebijakan Merdeka Belajar, seingat kita, pecahan alias bagian dari program ini meliputi pelaksanaan USBN, penghapusan UN, penyederhanaan RPP, PPDB, hingga PJJ.

Barangkali program Kampus Merdeka, Guru Penggerak, dan Sekolah Penggerak juga termasuk pecahannya. Tapi, dalam tulisan ini saya akan lebih fokus mengulik program yang sudah sedang berjalan seperti implementasi PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh).

Ketika kita menatap kondisi di lapangan, terang terlihat bahwa ada indikasi penurunan kualitas dan kuantitas belajar semenjak adanya PJJ. Kasus-kasus yang tak diinginkan pun datang, seperti siswa yang enggan mengumpulkan tugas hingga kurang kreatifnya pembelajaran di tengah pandemi.

Di awal-awal keberadaan virus covid-19, kita memaklumi bahwasannya "pandemi disilakan saja untuk dijadikan alasan". Tapi, apa iya seiring dengan berlalunya waktu 8 bulan, kita masih berdiri pada alasan yang sama?

Jelas ini penurunan kualitas. Bukan akselerasi yang diharapkan, malahan gara-gara pandemi eksistensi pendidikan jadi stagnan.

Syahdan, bagian dari tuangan kebijakan Merdeka Belajar seperti Kurikulum Darurat bisa dibilang cukup berguna saat ini. Tapi berguna bagi siapa?

Tentu saja bagi mereka yang sempat melaksanakan dan "diajari" secara khusus. Kenyataannya, Kurikulum Darurat hanya alternatif, kan?

Begitulah, Merdeka Belajar seakan menyilakan para guru untuk Merdeka. Tapi, saya malah setuju dengan pendapat Kompasianer Pak Gunawan S. Pati.

Beliau menuangkan gagasan bahwa ketika pelaku pendidikan diberi kemerdekaan, awalnya malah bingung apa yang harus dikerjakan. Alasannya begitu menohok, yaitu, karena sudah lama insan pendidikan dikekang.

Akhirnya, secara khusus, pandemi seakan "memacetkan" program Merdeka Belajar. Padahal, dengan hadirnya pandemi, pendidikan kita bisa diakselerasi menggunakan teknologi, kan?

Pandemi Semestinya Membuat Akselerasi Kebijakan Merdeka Belajar Lebih "Ngebut"

Baru-baru ini, saya sempat membaca sindiran tajam Bu Sri Mulyani kepada Mas Nadiem dan Kemendikbud. Dalam acara Kemenkeu Mengajar (26/10/2020), beliau meminta Mas Nadiem agar mempercepat reformasi pendidikan melalui program Merdeka Belajar yang sudah digagas.

Kata kunci dari sang Menteri Keuangan yaitu "diakselerasikan".

Kemudian, sindiran tajam yang saya maksudkan tertuang dalam tuturan Bu Menkeu:

"Jangan sampai keinginan untuk sempurna, mencegah untuk berbuat sesuatu."

Perwujudan ungkapan itu dapat kita lihat dalam implementasi kebijakan subsidi kuota dalam rangka memaksimalkan PJJ. Ada siswa dan guru yang dapat kuota, ada yang tidak. Ada kuota siswa yang digunakan untuk belajar, ada yang malah dipakai untuk main game.

Ketika dijabarkan satu per satu seperti ini, jelas Kemendikbud akan kewalahan. Mas Nadiem perlahan akan terkekang dengan rumitnya tantangan implementasi sehingga kebanyakan aksi yang timbul adalah menunggu dan menunggu.

Padahal, Bu Sri Mulyani menyebut permasalahan PJJ tidak hanya sekadar kuota. Nah, kok kelihatannya Sang Kemenkeu yang berpikir lebih luas dan perhatian?

Lagi-lagi kita katakan bahwa implementasi PJJ menemui banyak kendala. Siswa kewalahan, guru kesusahan, bahkan semua orang juga harus menghadapi berbagai rintangan untuk mengakses pendidikan.

Alhasil, beruntung bahwa banyak pihak begitu perhatian dengan pendidikan. Berdasarkan pijakan ini, agaknya solusi dan program PJJ perlu ditatap lebih "ngebut" dengan tujuan jangka panjang.

Terang saja, kita tak ada yang tahu kapan pandemi berakhir. Ketika PJJ dengan setumpuk RPP, kurikulum, serta subsidi bantuan yang dihadiahkan untuk memaksimalnya dirumuskan dalam tujuan jangka panjang, barangkali PJJ sistem daring dan luring tetap jadi opsi ketika pandemi sudah berakhir.

Dengan demikian, terasalah oleh kita yang namanya akselerasi. Ketika Bumi Pertiwi sudah sehat, wajah pendidikan negeri ini tidak lagi terlalu sibuk dengan aktivitas utak-atik kurikulum, penghapusan kebijakan, hingga revisi orientasi pembelajaran.

Pada dasarnya orientasi pembelajaran kita kan sudah jelas?  Teori Merdeka Belajar: Guru mengajar dengan merdeka, sedangkan siswa diajari sesuai dengan sandaran kebutuhan mereka. Rasanya, peneguhan mindset seperti inilah yang perlu diwujudkan dan diupayakan secara maksimal.

Kalau terlalu sibuk menunggu evaluasi implementasi, kapan selesainya? Kalau lama gerak, bisa-bisa rapor pendidikan nilainya makin banyak yang merah.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun