Di awal-awal keberadaan virus covid-19, kita memaklumi bahwasannya "pandemi disilakan saja untuk dijadikan alasan". Tapi, apa iya seiring dengan berlalunya waktu 8 bulan, kita masih berdiri pada alasan yang sama?
Jelas ini penurunan kualitas. Bukan akselerasi yang diharapkan, malahan gara-gara pandemi eksistensi pendidikan jadi stagnan.
Syahdan, bagian dari tuangan kebijakan Merdeka Belajar seperti Kurikulum Darurat bisa dibilang cukup berguna saat ini. Tapi berguna bagi siapa?
Tentu saja bagi mereka yang sempat melaksanakan dan "diajari" secara khusus. Kenyataannya, Kurikulum Darurat hanya alternatif, kan?
Begitulah, Merdeka Belajar seakan menyilakan para guru untuk Merdeka. Tapi, saya malah setuju dengan pendapat Kompasianer Pak Gunawan S. Pati.
Beliau menuangkan gagasan bahwa ketika pelaku pendidikan diberi kemerdekaan, awalnya malah bingung apa yang harus dikerjakan. Alasannya begitu menohok, yaitu, karena sudah lama insan pendidikan dikekang.
Akhirnya, secara khusus, pandemi seakan "memacetkan" program Merdeka Belajar. Padahal, dengan hadirnya pandemi, pendidikan kita bisa diakselerasi menggunakan teknologi, kan?
Pandemi Semestinya Membuat Akselerasi Kebijakan Merdeka Belajar Lebih "Ngebut"
Baru-baru ini, saya sempat membaca sindiran tajam Bu Sri Mulyani kepada Mas Nadiem dan Kemendikbud. Dalam acara Kemenkeu Mengajar (26/10/2020), beliau meminta Mas Nadiem agar mempercepat reformasi pendidikan melalui program Merdeka Belajar yang sudah digagas.
Kata kunci dari sang Menteri Keuangan yaitu "diakselerasikan".
Kemudian, sindiran tajam yang saya maksudkan tertuang dalam tuturan Bu Menkeu:
"Jangan sampai keinginan untuk sempurna, mencegah untuk berbuat sesuatu."
Perwujudan ungkapan itu dapat kita lihat dalam implementasi kebijakan subsidi kuota dalam rangka memaksimalkan PJJ. Ada siswa dan guru yang dapat kuota, ada yang tidak. Ada kuota siswa yang digunakan untuk belajar, ada yang malah dipakai untuk main game.