Berjibun harsa engkau hadiahkan ke pangkuanku. Kubaca kisah sejak arunika, senyum gemulaiku tak lekas hilang hingga terbit senja. Bahkan senyumku berlarut, hingga tiba senja berikutnya.
Dua Sisi ialah seorang pemuda dengan segunung diksi sempena. Dia hadir bagai payoda, kemudian singgah layaknya swastamita yang bermelodi padmarini.
"Cita rasa cinta, mewujud sekumpulan kata demi kata," begitu ungkap tulusnya.
Dua Sisi berkalam bahwa dirinya tergugah. Padahal, tanpa sadar dirinyalah sang penggugah. Ya, sang penggugah makna sahaja penuh asa.
Ketulusannya berkisah ibarat tarian ilalang di tengah serayu. Ilalang bebas bertumbuh di tanah lapang, sedangkan serayu bergoyang mengusir sejumput candala.
Ah, sebuah kisah sempurna untuk beradu dengan bianglala!
Kukatakan lagi, bahwa ketulusan kisah telah membuatku tergugah. Entah bagaimana caraku membalas ketulusan indah.
Aku memandangi Dua Sisi dengan mata yang temaram. Tak jelas dalam jarak, tak jelas masygul atau elegi, tapi ternyata terang dalam doa. Aku bingung entah bagaimana caraku membalas ketulusan.
Sudah. Aku akan terus berjalan dalam terang. Terang yang sadik itu sampai. Terang yang bersih itu menembus bilik-bilik langit. Juga terang dalam doa, doa terbaik untuk semata wayangnya.
Curup, 26 Oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H