Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hari Santri Nasional 2020, "Enggak Ngaji, Enggak Seru!"

22 Oktober 2020   14:36 Diperbarui: 22 Oktober 2020   14:46 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Barangkali, selama ini banyak orang yang menebak bahwa santri identik dengan pesantren, sarung, hingga peci. Tidak sepenuhnya salah, sih. Karena jika kata santri ditambah imbuhan per- dan akhiran --an, maka jadilah ia persantrian yang berarti pesantren.

Hanya saja, menurut saya KBBI terlalu sempit mengartikan kata "santri". Di KBBI, santri dimaknai sebagai orang yang mendalami agama Islam; orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh; dan orang yang saleh. Padahal, kerjaan santri sejatinya lebih dari itu, kan?

Sejatinya, mendalami agama Islam dan beribadah adalah kewajiban tiap-tiap muslim. Entah muslim itu santri atau bukan, kewajibannya tetap berlaku. Bahkan, kalau kita kembali merunut pengertian santri dari KBBI, maka semua muslim adalah santri.

Hanya saja, eksistensi para santri sejatinya lebih luas daripada sekadar ibadah. Dalam artian, meskipun para santriwan dan santriwati sekolahnya di pesantren, mereka tetap bisa mewujudkan cita-cita untuk jadi guru, dokter, polisi, TNI, wirausahawan, dan sebagainya.

Artinya, santri sebenarnya adalah sosok insan idaman orang tua, kan? Ya, orang tua mana yang tidak mengidamkan anaknya jadi pribadi yang sholeh/sholehah, mandiri, dan memiliki semangat jihad. Termasuk juga calon menantu.

Maka dari itulah, sangat disayangkan bila sampai sekarang masih ada iming-iming negatif dari para orang tua dan tetangga bahwa "Jika kamu nakal, nanti Ibu bakal sekolahkan kamu di pesantren saja!"

Dan, alhamdulillah saat ini sudah ada penetapan Hari Santri Nasional (HSN) yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober.

Misi besar ditetapkannya HSN oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 22 Oktober 2015 adalah misi semangat jihad terhadap NKRI. Jadi, semoga saja tak ada lagi yang namanya dikotomi antara santri dan non-santri.

"Enggak Ngaji, Enggak Seru!"

Mengajinya para santri itu seru, loh! Dulu, di tahun 2015 saya bersama teman-teman mahasiswa sempat nyantri selama seminggu di Pesantren Al-Munawwir di Krapyak, Yogyakarta.

Belum benar-benar nyantri, sih. Lebih tepatnya, mengulik secara mendetail tentang aktivitas dan rutinitas santri di sana. Tapi, syaratnya, saya juga harus jadi santri dan ikut pendidikan pesantrian. Ya, diikutilah oleh kami kegiatan para santri mulai dari ibadah sholat, kajian Islam, baca kitab, menghafal Qur'an di waktu lapang maupun sempit, berebutan gayung di waktu sebelum subuh, hingga acara Maulid Diba'. Serunya bukan kaleng-kaleng, kan?

Foto saya dan teman-teman saat mengulik kehidupan santri di Pesantren tahun 2015. Dok. Ozy V. Alandika
Foto saya dan teman-teman saat mengulik kehidupan santri di Pesantren tahun 2015. Dok. Ozy V. Alandika

Begitulah. Suasana hidup seorang santri di pesantren begitu tertata. Manajemen waktunya luar biasa. Terang saja, tiap-tiap insan di pesantren diajarkan agar terus memelihara kesehatan pikir, kesehatan jasmani, dan terutamanya adalah kesehatan rohani.

Jadi, bayangkan saja ketika sistem manajemen hidup seorang santri ini terganggu, maka kegiatan mengaji bisa jadi bolong-bolong hingga akhirnya berkuranglah keseruan hidup. Mengapa saya sebut keseruan hidup? Karena asupan rohani yang tiada putus akan menambah efek bahagia.

Masih berkisah tentang jargon "Enggak Ngaji, Enggak Seru!", berlanjut ke tahun 2016-2017, saya sempat tinggal di blok perumahan di Perawang (Riau) yang mayoritas penduduknya senang melihat anak-anak mengaji.

Waktu itu saya masih bekerja sebagai kontraktor di sebuah PT, dan blok perumahan tempat saya tinggal juga didominasi oleh orang-orang yang bekerja di karyawan PT.

Rata-rata warga di sana berasal dari perantauan, beberapa darinya mengajar di sekolah umum, tapi ternyata cita-cita anak-anak mereka adalah ingin melanjutkan sekolah di pesantren. Terus terang saja, saja takjub.

Kalau kembali melihat rutinitas anak-anak di sana dalam kesehariannya, saya jadi mengerti. Di sana, selain sekolah favorit dan terkenalnya adalah sekolah IT (Islam Terpadu), sejak dini juga sudah diwajibkan untuk mengaji baik ke MDA maupun TPA. Rasanya, mindset untuk nyantri berangkat dari sana.

Andai dulu saya jadi melanjutkan kuliah di Riau, barangkali fenomena mindset anak-anak yang sudah "naksir" untuk mengaji di pesantren ini akan saya jadikan judul tesis. Tapi sayang, takdir saya tahun ini diminta oleh Allah untuk mengabdi di Bengkulu. Mungkin lain waktu kali, ya.

Meski demikian, setidaknya saya semakin yakin bahwa sejatinya "Enggak Ngaji, Enggak Seru!".

Ketika Kemandirian dan Adab Terasah Gara-gara Sering Mengaji

Mengapa seorang anak ingin menjadi santri di pesantren? Ada tiga alasan besar yang telah saya temui dan rasakan hingga hari ini. Alasan pertama adalah kemandirian, alasan kedua adalah untuk menghaluskan budi pekerti (adab), dan alasan ketiga adalah agar si anak lebih sering mengaji.

Sekilas, barangkali alasan ini terlihat biasa saja. Tapi, tahukah Anda, ketiga alasan ini datang dari diri seorang anak itu sendiri. Motivasi untuk nyantri di pesantren timbul dari keinginan dalam diri, bahkan tanpa ada "rayuan maut" dari orang tua.

Kita langsung ke contoh saja, ya. Silakan teman-teman perhatikan foto berikut ini:

Foto Saya bersama seorang murid yang saat ini sudah jadi seorang santri. Dok. Ozy V. Alandika
Foto Saya bersama seorang murid yang saat ini sudah jadi seorang santri. Dok. Ozy V. Alandika

Santri berikut ini, namanya adalah Riang Adeko. Sejatinya Riang adalah murid saya, sewaktu saya mengajar di SMP. Tahun kemarin Riang sudah tamat SMA, dan tahun ini dia memilih untuk mengaji di pesantren sembari bekerja di sebuah pabrik tahu sederhana.

Sampai saat ini kami masih sering berkontak lewat media sosial serta sesekali berjumpa tatap muka. Pertemuan tatap muka kami baru-baru ini terjadi kira-kira tiga bulan lalu, yaitu ketika Riang membeli salah satu produk jualan saya. Di sanalah saya mengulik kisah pendidikannya.

Awalnya saya kira kuliah, ternyata Riang memilih untuk mondok/nyantri di pesantren di kota Curup. Alasannya, beliau tergugah untuk memperdalam ilmu agama (mengaji) sekaligus belajar mandiri. Bekerja sekaligus nyantri di pesantren, bukankah ini hebat?

Dua saudara sepupu saya sekarang sudah melanjutkan pendidikan ke pesantren. Dok. Suhana Nana
Dua saudara sepupu saya sekarang sudah melanjutkan pendidikan ke pesantren. Dok. Suhana Nana

Nah, foto dua santri di atas adalah saudara sepupu saya yang ada di Perawang sebagaimana yang telah saya ceritakan tadi. Saat ini, keduanya sudah melanjutkan pendidikan ke pesantren.

Karena sempat hampir satu tahun tinggal dengan mereka di Perawang, saya juga mendapati alasan yang sama bahwa kedua saudara sepupu saya ini memang benar-benar ingin sekolah pesantren. Keduanya ingin menghafal Qur'an sekaligus menjadi santri yang berjiwa enterpreneursip.

Kira-kira, cukup selaraslah dengan peran santri kekinian menurut KH. Ma'ruf Amin. Hehehe. Soalnya, beliau pagi ini sempat menerangkan harapan bahwa pesantren dapat melahirkan santri yang "Gus Iwan". Santri "Gus Iwan" alias santri yang bagus, pintar mengaji dan usahawan.

Terakhir, kita jangan lupa bahwa sekolah santri juga merupakan sekolah adab. Di pesantren, adab begitu ditinggikan. Jangankan hanya kepada kyai dan pengasuh pesantren, kepada orang yang lebih tua saja para santri dibiasakan untuk menghormati. Apalagi adab terhadap ilmu!

Kita begitu miris melihat kenyataan bahwa hari ini banyak anak yang sangat gampang sekali mencela, memaki, bahkan berkata kasar kepada guru hingga orang tuanya sendiri. Maka dari itulah lembaga pendidikan Islam seperti pesantren harus diberdayakan agar tetap eksis.

Hari ini, "Enggak Ngaji" memang benar-benar "Enggak Bakalan Seru" karena mengaji agama yang benar akan menuntun seseorang kepada kehalusan budi pekerti dan kebahagiaan dunia-akhirat. Toh, ngaji yang benar kan bukan cuma copas dan umbar dalil dari internet!

Salam.

Curup, 22 Oktober 2020 dalam Suasana Hari Santri Nasional

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun