Asesmen Nasional, barangkali sudah banyak dari kita terutama para pelaku pendidikan yang mendengar kisah tentang instrumen evaluasi pengganti Ujian Nasional ini. Terang saja, semenjak UN dihapus pada bulan Mei 2020 kemarin, pelaksanaan Asesmen Nasional semakin digencarkan.
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, Asesmen Nasional pada tahun 2021 akan mengulik lebih jauh tentang Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, hingga Survei Lingkungan Belajar.
Pelaksanaan Asesmen Nasional ini ternyata bukan hanya diikuti oleh siswa saja, melainkan juga melibatkan kepala sekolah dan guru sebagai responden.
Mengingat tujuan evaluasi yang dimaksud adalah untuk mengetahui mutu satuan pendidikan dalam proses pembelajaran, maka wajar saja bila kemudian Asesmen Nasional melibatkan para pelaku pendidikan tanpa terkecuali.
Hanya saja, karena yang diukur adalah mutu dan kualitas pembelajaran secara komprehensif (tidak individu), maka nilai dan hasil yang terpampang setelah evaluasi tidak lagi menjadi patokan.
Secara, fokus penilaian yang terlalu mengarah kepada aspek kognitif hanya akan menuntun siswa untuk cenderung menghafal materi daripada mendalami maupun mensintesa materi tersebut.
Baca juga:Â Asesmen Nasional Bukan Pengganti UN, Ini 7 Perbedaannya
Alhasil, ekspektasi Asesmen Nasional agaknya ditujukan untuk mengajak para siswa berpikir tingkat tinggi, kritis, beriorientasi kepada pemecahan masalah, hingga mewujudkan karakter alias siswa berprofil Pancasila.
Tampaknya target ini begitu berat, ya?
Saya kira, target ini tidak berat. Malahan, kualitas pendidikan kita yang cenderung stagnasi, bahkan mengalami penurunan mutu. Gara-gara apa? Rasanya ada banyak faktor yang mempengaruhi eksistensi pendidikan Indonesia secara sistem.
Mulai dari kurikulum yang suka berganti, kesenjangan fasilitas pendidikan di pusat dan daerah, otonomi daerah, kompetensi guru, proses pembelajaran, hingga mindset para pelaku pendidikan masing-masing darinya ikut berkontribusi untuk menentukan maju-mundur sebuah kualitas.
Lagi-lagi, kalau kembali kita lihat dan tatap negeri Indonesia tercinta, agaknya tantangan Bumi Pertiwi untuk menggenjot kualitas pendidikan juga cukup kompleks. Selain karena komponen-komponen penentu yang telah disebutkan di atas, faktor geografis juga ikut memengaruhi.
Lihat saja perkembangan pendidikan di hari ini. Saya rasa, tidak sedikit orang yang punya opini bahwasannya jalannya pendidikan lebih "ramai" di pulau Jawa dibandingkan dengan pulau di luar Jawa.
Ketika kita membayanginya secara sederhana, wajar, kan? Toh, pusat pemerintahan ada di sana.
Meski begitu kenyataannya, bukan berarti para pelaku pendidikan di luar Jawa terus mengeluh dan bermuram durja.
Untuk meningkatkan persaingan antar provinsi, masing-masing satuan pendidikan dengan berbagai jenjangnya perlu menyatukan visi-misi memajukan kualitas. Termasuklah salah satunya dengan mengenal lebih jauh tentang pelaksanaan Asesmen Nasional.
Namun, dalam pembahasan kali ini, saya akan mengajak para pembaca sekalian untuk lebih akrab dengan instrumen Asesmen Nasional yang bernama Asesmen Kompetensi Minimum (AKM).
Mengapa saya ajak fokus ke AKM? Dibandingkan dengan dua instrumen Asesmen lainnya, AKM adalah butir evaluasi yang mengukur nilai kognitif siswa dalam suatu sistem pembelajaran. Artinya, ada indikasi bahwa AKM nantinya akan mirip dengan soal-soal Ujian Nasional pada zamannya, kan?
Lha, mana saya tahu. Kan kita belum menggelar asesmen! Hohoho. Tidak begitu, ya. Mendingan kita pedekate dengan butir soal AKM agar nantinya bisa sedikit lebih akrab.
Pedekate dengan Contoh Soal Asesmen Kompetensi Minimal (AKM)
Pada dasarnya, instrumen AKM menjurus kepada aspek kognitif yang terdiri dari kompetensi numerasi dan literasi. Hanya saja, jika kita bandingkan dengan soal Ujian Nasional pada zamannya, butir-butir soal AKM lebih kompleks dan bervariasi.
Diterangkan dalam buku saku AKM terbitan Pusat Asesmen dan Pembelajaran, soal-soal Asesmen Nasional nantinya terdiri dari pilihan ganda, pilihan ganda kompleks, menjodohkan, isian singkat dan uraian. Otomatis, jenis soal AKM juga demikian.
Hanya saja, kalau kita berkisah tentang kualitas alias tingkat kesulitan AKM, saya jadi teringat ucapan Mas Mendikbud di akhir tahun 2019 lalu.
Seiring dengan digaungkannya rencana Asesmen Nasional dan Survei Karakter, beliau menegaskan bahwa tujuan digelarnya Asesmen adalah untuk mengejar nilai PISA.
Lihat saja dua kompetensi yang termaktub dalam AKM. Baik numerasi dan literasi, keduanya adalah instrumen penilaian PISA, kan?
Duh, ngeri-ngeri sedap. Alhasil, semakin terang pembayangan bahwa nantinya kualitas soal AKM yang akan dikerjakan siswa minimal akan setara dengan kualitas soal UN. Bahkan, bisa saja lebih sulit daripada soal UN.
Baca juga:Â Asesmen Nasional dan Profil Pelajar Pancasila, Sebuah Reformasi Pendidikan Abad 21
Mungkinkah Soal AKM akan Lebih Sulit Dibandingkan UN?
Sembari minum kopi atau makan gorengan, mari kita perhatikan contoh soal numerasi yang dihadirkan oleh lembaga Asesmen Nasional berikut ini:
Nah, sekarang, coba kita bandingkan. Soal kelas 5 SD versi AKM dengan soal kelas 6 SD versi bank soal Kemdikbud. Ternyata, ada perbedaan yang cukup mendasar, kan?
Begitulah. Soal AKM terlihat lebih sulit karena "memaksa" siswa untuk berpikir kritis tingkat tinggi serta memecahkan masalah. Soal AKM kelas 5 di atas sudah masuk dalam kategori soal HOTS (Higher Order Thinking Skills).
Sedangkan soal kelas 6? Tampaknya malah sederhana sekali, ya. Kadar soalnya masih setingkat pengaplikasian operasi hitung bilangan. Apalagi soal tersebut dipakai untuk latihan siswa kelas 6 SD. Rasanya, masih tergolong takaran soal mudah, ya. Alias LOTS (Lower Order Thinking Skills).
Syahdan, saya juga sempat mengecek naskah UN SD mata pelajaran Matematika tahun 2017, ternyata versi soalnya tidak beda jauh dengan latihan soal Matematika Kelas 6 sebagaimana yang tertera pada gambar di atas. Yang berbeda hanyalah angka-angkanya saja.
Baca juga:Â Peran Guru dalam Menyukseskan Asesmen Nasional
Dan sengaja tidak saya publikasikan di sini, soalnya ada tulisan "Dokumen Negara; Sangat Rahasia". Walaupun memang, rahasia itu hanya berlaku pada zamannya, sih. Hehehe
Meski begitu, tetap saja perbandingan ini tidak bisa kita jadikan satu-satunya tolok ukur. Terang saja, di awal tahun depan pasti akan ada ujicoba AKM, dan dari situlah kita bisa melihat sejauh mana kualitas yang ditawarkan oleh Mas Mendikbud.
Tapi, kata temanku yang saat ini bekerja sebagai pengajar bimbel bergengsi di Indonesia, contoh soal AKM yang telah diterimanya beberapa waktu yang lalu memang sulit, sih. Apalagi bila dibandingkan dengan soal UN pada masanya.
Hanya saja, siswa nantinya malah beruntung, kan? Soalnya, hasil AKM tidak menentukan kelulusan siswa.
Setidaknya, kalaulah nanti soal AKM lebih sulit daripada UN, berarti ada 3 hal utama yang akan menjadi poin prioritas pembenahan.
Pertama, peningkatan kompetensi mengajar guru. Kedua, penciptaan lingkungan mengajar yang berorientasi kepada kebutuhan siswa. dan ketiga, percepatan pemerataan fasilitas serta akses pendidikan di setiap jenjang sekolah.
Ada tambahan?
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H