Bahkan, sehebat apapun seorang siswa, tentu saja mereka mudah mengalami kebosanan dalam belajar, kan? Apalagi belajarnya sistem daring dalam suasana pandemi. Perbedaan sistem belajar antara tatap muka versus virtual ibarat cuaca mendung dengan gerimis.
Kalau suasana di suatu hari masih mendung, warga belum tentu mau buru-buru mengangkat jemuran pakaian maupun kopi basah di halaman.
Beda dengan keadaan hari yang sudah gerimis, siapapun yang punya jemuran di halaman dekat rumah pasti grasak-grusuk ingin mengangkatnya sebelum kebasahan.
Sistem pembelajaran juga begitu. Selama pembelajaran masih berlangsung dengan sistem tatap muka, seorang guru tidak terlalu ngebet untuk memastikan roh alias konsentrasi belajar siswa 100 persen berada di kelas.
Toh, guru hanya perlu melakukan pendekatan individual ataupun mengatur intonasi suaranya agar roh belajar siswa kembali ke pangkuan kelas. Selain itu, pandangan siswa juga relatif luas. Tidak sekadar tatap-tatapan dengan guru maupun papan tulis, siswa juga bisa menatap suasana kelas.
Nah, kalau sistem pembelajarannya daring, bagaimana? Rasanya sang siswa akan lebih mudah bosan. Terang saja, tatapan mereka hanya terbatas pada satu layar microsoft teams, google meet, zoom cloud meeting, hingga kelas sederhana seperti GCR.
Bayangkan saja bila sinyal internet hari itu terombang-ambing tertiup angin. Siswa malah jadi makin bosan ketika tulisan di layar handphone maupun laptopnya hanya "loading" semata. Kalau sudah seperti ini, otomatis roh belajar siswa semakin merajalela, kan?
Di sinilah pentingnya peran guru dalam menghadirkan apersepsi. Apersepsi dilakukan agar roh belajar siswa tidak pergi terlalu jauh meninggalkan suasana pembelajaran. Atau, setidaknya, roh siswa yang tertinggal di rumah bisa ikut terbawa ke dalam proses belajar.
Lalu, apersepsi itu sebenarnya apa sih?
Menilik dari KBBI, apersepsi adalah pengamatan secara sadar (penghayatan) tentang segala sesuatu dalam jiwanya (dirinya) sendiri yangg menjadi dasar perbandingan serta landasan untuk menerima ide baru.
Ketika kita arahkan pengertian ini ke dalam pembelajaran, maka apersepsi yang dimaksud adalah kegiatan yang dilakukan di awal proses pembelajaran di mana ada penyampaian tujuan, kesan, pengalaman, penghayatan, pentingnya materi ajar, hingga motivasi jelang pembelajaran.
Misalnya, guru menghubungan materi pembelajaran minggu lalu dengan materi pembelajaran minggu ini supaya siswa "nyambung". Kalaupun materinya baru, maka guru bisa memasukkan objek atau gejala sosial tertentu di awal pembelajaran. Agar?
Agar siswa mendapatkan persepsi. Seheboh apa siswa dalam menanggapi pembelajaran yang akan berlangsung akan menjadi penentu kesuksesan belajar pada hari itu.
Biasanya, dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), apersepsi dimasukkan di kolom kegiatan pendahuluan (awal) berbarengan dengan kegiatan salam, sapa, doa, presensi serta menyanyikan salah satu lagu wajib nasional.
Namun, dalam pelaksanaannya, tidak semua guru ingat tentang betapa pentingnya apersepsi. Kalau para pembaca mau memeriksanya, coba saja bertanya kepada anak-anak bahwa mereka sudah belajar apa di hari ini.
Kalau anak bisa menjelaskan--minimal judul materi ajarnya--kepada kita dengan tanpa kebingungan, berarti guru yang mengajar sempat melakukan apersepsi.
Tapi kalau anak tidak ingat, maka bisa jadi apersepsinya terlupa sehingga anak tadi belajar dengan keadaan "roh" belajarnya tertinggal entah di mana.
Pentingnya Apersepsi dalam Menjemput "Roh Belajar" Siswa yang Tertinggal
Mengapa "roh belajar" siswa tak boleh tertinggal saat mengikuti pembelajaran? Ialah karena siswa bukanlah sebuah robot. Kalau yang hadir di kelas nyata maupun maya hanyalah raga siswa, maka kesan belajar akan susah singgah ke dalam hati siswa.
Siswa mungkin sedang duduk rapi di kelas, tapi roh alias konsentrasi pikir dalam bayangnya, kita tidak tahu entah ke mana, kan? Syahdan, siswa sedang duduk cantik menatap layar virtual, tapi roh belajarnya belum tentu ikut "cantik", kan?
Entah siswa hari itu sedang memikirkan deadline tugas mata pelajaran lain, entah siswa sedang memikirkan bahwa kuota internetnya akan cukup atau tidak, semuanya adalah masalah yang mengakibatkan roh belajar siswa pergi jauh meninggalkan kelas.
Maka dari itulah, penting bagi guru untuk selalu melakukan apersepsi di awal kegiatan pembelajaran. Terang saja, dunia guru dan dunia siswa itu berbeda, sedangkan apersepsi adalah jalan penghubung alias batu loncatan untuk menyatukan dunia yang berbeda tadi.
Ketika siswa dan guru berada dalam satu dunia belajar, dapat dipastikan bahwa roh belajar siswa tak akan mau ketinggalan, apalagi sampai pergi ke situasi lain di luar belajar.
Meskipun masih dalam kegiatan awal pembelajaran, apersepsi sangat penting karena pikiran siswa di awal jumpa perlu disegarkan. Kalau pikiran siswa sudah segar, maka siswa secara tidak langsung akan rela mengikutsertakan "rohnya" menuju kegiatan pembelajaran.
Dari sana, terciptalah pembelajaran yang bermakna dan berkesan. Siswa secara raga dan jiwa sudah siap belajar sehingga guru bisa lebih leluasa melakukan kegiatan transfer ilmu.
Kalau roh belajar siswa kembali melayang? Santai saja, guru tinggal menghadirkan ice breaking di sela-sela kegiatan belajar. Bisa dengan senam otak, hadirkan cerita lucu, hadirkan kuis-kuis bernuasa unik, dan lain sebagainya.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H