Malam Kamis, Rudi duduk menyendiri di bawah pohon rambutan. Malam yang sangat gelap, bahkan purnama pun enggan menampakkan kemilaunya.
Kegiatan Rudi hari itu pun hanya dua. Pertama, ia meratapi dirinya yang sudah lama menjomblo. Dan kedua, Rudi menatap gubuk sederhana tanpa pintu dan dinding yang berada tepat di depan pandangnya.
Sesekali Rudi begitu mengkhawatirkan dirinya. Berkaca dari telepon genggam di tangan kirinya, Rudi berulang kali menilai diri.
Angka 10? Ah, itu terlalu sempurna bagi Rudi. Sungguh tidak mungkin, malahan. Kalaupun mungkin, harusnya Rudi sudah lama menikah. Angka 5? Ah, energi angka 5 terlalu negatif baginya. Pria jomblo ini takut kehilangan motivasi.
Sedangkan di gubuk sederhana yang ditatap oleh Rudi, telah duduk sejoli anak muda. Tak perlu ditebak-tebak lagi. Sudah pasti mereka sedang pacaran. Ini kan malam Kamis.
Bertambah gusarlah hati Rudi. Tempat ia bersandar di malam itu hanyalah pohon rambutan tua yang bahkan tak berbuah. Rudi juga ingin duduk di gubuk itu. Bukan untuk mengganggu orang pacaran, tetapi Rudi hanya ingin hatinya disinari cahaya lampu.
***
Tepat pukul 20:38 WIB, tiba-tiba saja hujan deras melanda desa. Tak ada gemuruh sebenarnya. Tapi, ya, bagaimana lagi. Malam itu sedang tanpa bulan, tidak tampak seberapa tebal awan menggumpal bersama kelam.
Daripada kebasahan di bawah naungan pohon rambutan, Rudi lebih memilih berteduh ke gubuk terang tempat orang pacaran. Dalam hati Rudi, terserah mau dianggap obat nyamuk atau benalu di gurun Sahara, yang penting ia tak kehujanan, apalagi sampai masuk angin.
Dua puluh meter, itulah jarak antara pohon rambutan dengan gubuk. Seiring dihentakkannya langkah kaki dengan lembut menuju gubuk, perlahan Rudi mulai menebak-nebak siapa tokoh utama yang menjalin cinta di malam itu.