Gara-gara KKM adalah keluaran dari KBK, saya malah teringat Kurikulum 1994. Ketika saya cek di rapor SD, ternyata K-94 memang belum menggunakan sistem KKM. Bahkan, seingat saya, nilai rapor pada Kurikulum 1994 adalah nilai murni tanpa ada sistem remedial.
Dan hebatnya, K-94 adalah kurikulum populis yang mengutamakan local wisdom alias kearifan budaya lokal. Tak percaya? Lihat saja di rapor lama saya ini, tertulis ada mata pelajaran muatan lokal.
Hanya saja, bukan berarti K-94 lebih baik. Di sini saya hanya menyajikan sedikit perbandingan untuk melihat eksistensi kurikulum pembelajaran yang tidak menerapkan standardisasi.
Nyatanya, K-94 dulunya juga memiliki kekurangan. Salah satunya, pembelajaran berpusat satu arah, hanya dari guru.
Nah, dari sini dapat kita tarik sedikit gagasan bahwasannya KKM sebagai standardisasi pembelajaran itu penting, tapi tidak menghasilkan capaian pembelajaran yang diinginkan.
Berdasarkan kacamata Mas Nadiem selaku Mendikbud, beliau mulai menyadari bahwa standardisasi pembelajaran merupakan salah satu kendala dalam dunia pendidikan.
Selama ini, kurikulum menentukan materi tertentu yang dipelajari siswa berdasarkan tingkat kelasnya alias harus seragam.
Karena Indonesia adalah negara kepulauan yang luas dan dianugerahi beragam suku, ras dan budaya, maka bisa jadi standardisasi pembelajaran jadi kurang penting. Inilah yang kemudian menjadi salah satu dasar disederhanakannya kurikulum.
Tapi, tidak bisa juga kita sebut standardisasi pembelajaran itu tidak penting. Kalau begitu, apa gunanya ada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Standardisasi pembelajaran, terutama dari sisi proses sangatlah penting. Soalnya kita masih butuh alat ukur keberhasilan pendidikan di sekolah. Hanya saja, paradigma belajarnya yang perlu diubah dan sandaran pendidikan dalam cita-cita Merdeka Belajar sudah berubah.