"Enggak Posting, Enggak Laku!"
Berjualan di era milenial sejatinya susah-susah gampang. Produk jualannya beragam, dan para penjualnya juga tak pernah lenyap dari pandangan mata. Dalam artian, banyak orang mulai menjemput rezekinya dengan cara berdagang.
Terang saja, keadaan di hari ini sangat mendukung dan membuka peluang bagi siapa saja yang mau berjualan. Bisa dengan buka toko jualan sendiri, buka lapak di pasar pagi-pagi, buka toko online, hingga rela menyewa rumah kontrakan.
"Aku sih, yes! Kalo kamu, gimana?"
Pesatnya perkembangan teknologi seakan telah memudahkan tiap-tiap pedagang untuk mempromosikan barang dagangan. Ketika kita berteman dengan seorang pedagang, biasanya story WhatsApp, Facebook maupun Instagram mereka selalu bejibun.
Kadang update produk jualan terbaru, update price list, share testimoni, dan kadang ada pula sebagian pedagang yang berbagi omelan di status medsosnya. Pelanggan yang lenyap lah, pelanggan yang PHP lah, hingga sederet omelan lainnya.
Tapi, ya, begitulah salah satu seni berjualan di era milenial. Jargon "enggak posting, enggak laku" sungguh membahana di jagat maya. Jujur saja, menurutku ungkapan tersebut adalah motivasi besar bagi para pedagang yang terkadang suka "galau" menjemput rezeki.
Berjualan Itu Soal Mental, Cuy!
Berjualan di dunia maya maupun nyata sejatinya sama-sama berhubungan langsung dengan mental.
Siapa coba yang berani nongkrong di dekat taman wisata sembari menggelar tikar demi memajang barang jualannya. Ku yakin, tidak semua orang mampu bermental demikian. Terkadang ada rasa malu untuk menawarkan produk, dan terkadang lidah ini cukup kelu untuk menjelaskan.
Pengalamanku, sebulan yang lalu aku sempat mendampingi seorang sahabat berjualan popcorn di dekat taman. Dia sebenarnya seorang pegawai, dan di hari itu dia juga baru perdana menggelar lapak di tengah keramaian. Deg-deg-gan, dong?
Tentu saja, aku yang hanya mendampingi sahabatku saja sempat kewalahan mendeskripsikan barang jualan.
beruntung aku menunggu lapak ini hanya setengah jam!
Bahkan, saat diminta untuk menjaga lapak popcorn, aku sampai lupa di mana letak kantong plastik pembungkus popcorn. Malah si pembeli yang menunjukkannya kepadaku. Kataku dalam hati:Dan setelah sahabatku datang, barulah kami berdiskusi hangat mengulik topik "mental jualan". Memang terasa betul dag-dig-dug-nya jikalau berdagang seorang diri di tengah keramaian.
Ku kira, di era milenial seperti saat sekarang ini keadaannya juga masih sama. Walaupun sebagian lapak jualan sudah berpindah ke media sosial, tapi bukan perkara mudah untuk selalu rajin memposting barang dagangan.
Karena aku sendiri juga sudah mulai berjualan dalam beberapa bulan ini, aku pun merasa bahwa terkadang ada rasa "tak enak" hati untuk terus mempromosikan produk jualanku. Apalagi saat jumlah like terhadap postinganku sedikit, "iman jualan" serasa naik turun. Hahaha
Padahal, ya, itu tadi. Kalo enggak promosi, gimana mau laku! Terang saja, larisnya sebuah produk jualan tidak semata-mata dilihat dari banyaknya like terhadap postingan di medsos. Siapa tahu para pelanggan langsung japri si penjual, kan? Pasti begitu kok.
Berjualan Itu Tak Selalu Laku
Berjualan di era milenial itu serba laris dan cenderung laku banyak? Oh, belum tentu. Memang benar bahwa para penjual suka update status tentang testimoni produk--termasuk aku sendiri--syahdan postingan mereka dikerumuni banyak komentar.
Tapi, para pelanggan yang "naksir" sampai akad tidak sebanyak itu. Malahan, postingannya sekadar ramai komentar saja tanpa ada yang beli.
Apalagi di era milenial, terkadang teman-teman dunia maya hanya berniat untuk meramaikan lapak online para pedagang.
Beruntunglah kita bila mempunyai teman-teman yang seperti itu. Mereka baik hatinya, dan di balik komentar itu, mereka biasanya menyelipkan doa untuk kesuksesan kita. Aamiin. Begitulah seni jualan di era milenial.
Ketika barang dagangan sedang laris, rezeki datang mulus ibarat tumpahan air hujan dari langit. Tapi, ketika barang sedang sepi pelanggan, rezeki berasa tersendat layaknya pohon jagung muda yang tumbuh di tanah yang tandus.
Lha, kok rada galau, ya? Woles aja kali!Â
Jalan rezeki para pedagang memang begitu. Mau suasananya sedang laris atau sepi pelanggan, nikmatnya akan tetap terasa ketika kita selalu menyempatkan diri untuk bersyukur. Lapang rasanya hati ini.
Berjualan di Era Milenial, Derajat Kesabarannya Lebih Tinggi
Benar sih, apapun pekerjaannya, setiap orang selalu dituntut untuk meninggikan derajat kesabaran. Jikalau kurang sabar terhadap sesuatu, bisa saja apa yang diharapkan mendekat akan cenderung menjauh.
Begitu juga dengan profesi pedagang. Kata orang, marah itu tanda cinta. Tapi sayangnya, jargon ini tak sepenuhnya berlaku bagi para pedagang.
Terang saja, kalau pedagang sukanya buru-buru dan marah-marah, bagaimana bisa calon pelanggan mau jatuh cinta! Yang ada, pelanggan malah pindah ke lain hati. Duh, galau!
Tambah lagi di era milenial seperti hari ini, tidak sedikit para calon pembeli yang "enggan" untuk teliti. Terkadang, harga produk sudah kita sematkan, tapi ketika pelanggan mau membeli, mereka malah tanya lagi berkali-kali via japri. Ending-nya, gak jadi beli! Hahaha. Sabar yo mas e.
Tapi, ya, itulah serunya berdagang. Karakteristik calon pembeli itu macam-macam, walaupun secara umur dan golongan mereka termasuk dalam kategori milenial. Para penjual memang benar-benar perlu meningkatkan derajat kesabarannya ke level yang lebih tinggi.
Sejatinya, banyak atau sedikitnya produk jualan yang laku itu tetaplah nikmat, karena itulah seni dalam berjualan. Nikmat yang sedikit disyukuri, nikmat yang banyak juga disyukuri, dan jangan pernah lupa untuk senantiasa berbagi.
Joss. Semangat!
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H