Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tenanglah, "Ubrak-Abrik" Kurikulum Bukanlah Hal yang Tabu Kok!

4 September 2020   12:04 Diperbarui: 4 September 2020   11:50 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Komisioner KPAI, Retno Listyarti. Foto: Kompas/Fitri R

Sudah berapa kali Indonesia gonta-ganti kurikulum?

Saking banyaknya gonta-ganti, barangkali kita sampai lupa detailnya, siapa penggagasnya, serta mengapa kurikulum tersebut harus diganti. Sudah menjadi tebak-tebakan yang umum bila alasan kurikulum berganti ialah karena menterinya juga berganti. Tak masalah juga, sih. Kita terima dulu.

Seingat saya, sudah 10 kali negeri Indonesia tercinta melakukan "ubrak-abrik" kurikulum. Beberapa kali saya sempat menulis artikel tentangnya sampai-sampai hafal nama-nama perangkat mata pelajaran tersebut.

Sebut saja kurikulum 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) 1984, 1994, (Kurikulum Berbasis Kompetensi) KBK 2004, (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) KTSP 2006, dan terakhir, Kurikulum 2013 yang masih berlaku hingga hari ini.

Tak mau kalah, sesungguhnya Kurikulum 2013 juga terus diubrak-abrik. K-13 alias Kurtilas yang pada mulanya digagas oleh Mohammad Nuh ini mengalami berbagai macam revisi.

Mulai dari penyederhanaan aspek penilaian guru, penerapan teori 5M (Mengingat, Memahami, Menerapkan, Menganalisis, Mencipta), integrasi PPK (Penguatan Pendidikan Karakter) dan Literasi, hingga aplikasi 4C (Communication, Collaborative, Critical Thinking, dan Creativity) semuanya seakan menegaskan bahwa K-13 masih dalam tahap pengembangan.

Syahdan, sukses atau tidaknya tahap pengembangan inilah yang kemudian dijadikan pijakan oleh Kemendikbud demi menyempurnakan K-13.

"Kitab Suci" yang memuat perangkat mata pelajaran ini belumlah sempurna. Bahkan, saking banyaknya pengembangan, sejatinya K-13 masih berbentuk kerangka. Kurikulum 2013 belum sepenuhnya mampu menjadi fondasi alias pedoman yang utuh sebagai Kurikulum Nasional.

Maka dari itu, sangat diperlukan adanya evaluasi yang berkelanjutan terhadap seluruh komponen dari Kurikulum berbasis Karakter ini. Dengan adanya evaluasi, Kemendikbud bisa lebih tercerahkan dalam mengambil langkah pengembangan sistem pendidikan nasional.

Misalnya, evaluasi tentang bagaimana sesungguhnya muatan alias beban materi yang ada dalam K-13.

Bukankah muatan K-13 itu sangat padat? 

Tentu saja. Sebagai seorang guru, saya juga merasakan hal yang sama.

Melimpahnya Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar yang tertuang dalam perangkat pembelajaran cukup membebani guru maupun siswa. Kasarnya, semakin banyak KI dan KD, semakin menggununglah tugas siswa. Jadi, sangat diperlukan adanya penyederhanaan Kurikulum.

Saat ini, di tengah pandemi, Mas Mendikbud Nadiem bersama Kemendikbud sudah merilis Kurikulum Darurat tepatnya di awal Agustus 2020 kemarin. Isinya ialah penyederhanaan KI dan KD supaya pembelajaran dalam suasana pandemi (PJJ) bisa lebih esensial.

Selain itu, baru-baru ini Mas Nadiem Makarim dalam rapat bersama MPR/DPR RI pada Kamis (3/9/2020) juga mengungkapkan bahwa pihaknya telah telah melakukan penyederhanaan kurikulum tahun 2013 atas permintaan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Mas Mendikbud Nadiem Makarim. Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Mas Mendikbud Nadiem Makarim. Foto: Antara/Puspa Perwitasari

Menurut Mas Nadiem, uji coba yang bertajuk penyederhanaan dan rasionalisasi kurikulum 2013 itu akan dilakukan mulai tahun 2021 di berbagai macam sekolah penggerak.

Seperti yang kita ketahui sebelumnya, berbagai kebijakan seperti Guru Penggerak, Sekolah Penggerak, hingga Asesmen Kompetensi dan Survei Karakter akan segera diimplementasikan di tahun depan.

Selain itu, Program Organisasi Penggerak (POP) yang kemarin sempat "rusuh" juga berpeluang besar untuk segera digulirkan di tahun 2021.

Berbagai program kebijakan ini agaknya memiliki keterkaitan erat dalam mewujudkan cita-cita pendidikan nasional dari segi pembelajaran dan kemantapan kurikulum di sekolah.

Secara, komponen-komponen utama kurikulum seperti guru, siswa, hingga evaluasi terindeks dalam program. Artinya, kebijakan ini memuat "program satu paket" yang juga diarahkan kepada penyempurnaan kurikulum nasional.

Tenanglah, "Ubrak-Abrik" Kurikulum Bukanlah Hal yang Tabu Kok!

Ketika Kurikulum Darurat digaungkan sebagai kurikulum alternatif, rasanya banyak pihak yang mulai merasa kebingungan. Mengapa kurikulum di tengah pandemi tidak berlaku secara nasional alias disama-ratakan, ini adalah salah satu pertanyaan yang diduga paling banyak muncul.

Terang saja, sebelum Mas Nadiem menjabat sebagai mendikbud, kurikulum di bumi Pertiwi cukuplah satu dan kalau bisa hanya satu saja dan berlaku secara nasional.

Kurikulum 2013 misalnya, karena kurikulum berbasis karakter ini sudah dicap sebagai kurikulum nasional, maka hal yang perlu dilakukan pemerintah adalah melakukan percepatan sosialisasi dan implementasi Kurtilas di tiap-tiap sekolah Indonesia.

Alhasil, paradigma tentang kurikulum yang seperti ini malah memunculkan mindset bahwa ternyata "ubrak-abrik" kurikulum itu adalah hal yang tabu. Gonta-ganti kurikulum yang sejatinya  dijadikan pedoman menuju kemajuan malah dianggap membingungkan.

Hal ini sempat dinyatakan oleh  Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti pada awal Agustus 2020 lalu. Retno mengkritik pelaksanaan kurikulum darurat yang tak tegas untuk diterapkan seluruh sekolah.

Komisioner KPAI, Retno Listyarti. Foto: Kompas/Fitri R
Komisioner KPAI, Retno Listyarti. Foto: Kompas/Fitri R

Syahdan, sang Komisioner juga menegaskan bahwa seharusnya tidak boleh ada pelaksanaan kurikulum berbeda dalam satu tahun ajaran baru karena akan membingungkan guru dan sekolah di lapangan seperti pernah terjadi pada saat Mendikbud Anies Baswedan, yaitu berlakunya dua kurikulum, kurikulum 2013 dengan kurikulum KTSP.

Agaknya pernyataan bahwa kurikulum 2013 tadi hanyalah kerangka secara tidak langsung sudah dijawab oleh bu Retno ini.

Kiranya yang benar itu bukanlah memberlakukan dua kurikulum secara nasional, melainkan mempersiapkan sekolah-sekolah dengan "kurikulum lama" untuk kemudian "mencicipi" kurikulum baru jikalau nanti sudah dirasa tidak banyak halang-rintang.

Jadi, publik perlu sejenak bertenang dari karena sebenarnya "ubrak-abrik" kurikulum itu bukanlah hal yang tabu alias dipantang. Terlebih lagi di era milenial sekaligus pandemi seperti hari ini.

Selain mengedepankan esensi, kurikulum juga mesti menjalankan perannya sebagai perangkat mata pelajaran yang memiliki nilai relevansi, efisiensi, efektivitas, kesinambungan, fleksibilitas, serta cepat beradaptasi dengan tuntutan zaman.

Barangkali banyak orang menganggap bahwa kurikulum CBSA atau kurikulum rentjana pelajaran terurai 1952 lebih efektif dan oke. Tapi, keefektifan dan ke-oke-an kurikulum ini bisa jadi hanya berlaku pada masanya saja, kan? Alasannya cukup terang, yaitu, kita berada di zaman yang berbeda.

Namun, permasalahannya saat ini adalah, kegiatan "ubrak-abrik" kurikulum tidak terlalu menyentuh esensi dari pembelajaran itu sendiri.

Kurikulum nasional 2013 misalnya, yang "diributkan" orang-orang kebanyakan tentang sukarnya implementasi nilai-nilai karakter yang tertuang dalam kurikulum, macetnya distribusi buku-buku revisi terbaru, hingga lambannya para guru dalam meng-upgrade kompetensi.

Padahal, masalah inti dari kegiatan "ubrak-abrik" kurikulum demi kemajuan pendidikan tidak tentang itu, kan?

Ibarat kata, kalaulah kemudian kurikulum yang dihadirkan akan menyulitkan guru dari segi upgrade kompetensi, menyulitkan pelaksanaan pembelajaran di sekolah karena buku ajar harus direvisi tiap tahun, menyulitkan implementasi nilai-nilai karakter karena modelnya kurang pas, mengapa kemarin kurikulumnya dibuat seperti itu!

Alhasil, hal-hal yang lebih cocok untuk dirombak bukan hanya berfokus pada implementasi di lapangan melainkan desain kurikulumnya, karakteristik kurikulumnya, hingga evaluasi kurikulum agar nantinya menghasilkan sebuah model yang mampu mendorong kemantapan praktik pembelajaran.

Rasanya pergantian kurikulum bukan lagi hal yang tabu jika topik ini yang digaungkan dalam rangka "ubrak-abrik".

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun