Alhasil, paradigma tentang kurikulum yang seperti ini malah memunculkan mindset bahwa ternyata "ubrak-abrik" kurikulum itu adalah hal yang tabu. Gonta-ganti kurikulum yang sejatinya  dijadikan pedoman menuju kemajuan malah dianggap membingungkan.
Hal ini sempat dinyatakan oleh  Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti pada awal Agustus 2020 lalu. Retno mengkritik pelaksanaan kurikulum darurat yang tak tegas untuk diterapkan seluruh sekolah.
Syahdan, sang Komisioner juga menegaskan bahwa seharusnya tidak boleh ada pelaksanaan kurikulum berbeda dalam satu tahun ajaran baru karena akan membingungkan guru dan sekolah di lapangan seperti pernah terjadi pada saat Mendikbud Anies Baswedan, yaitu berlakunya dua kurikulum, kurikulum 2013 dengan kurikulum KTSP.
Agaknya pernyataan bahwa kurikulum 2013 tadi hanyalah kerangka secara tidak langsung sudah dijawab oleh bu Retno ini.
Kiranya yang benar itu bukanlah memberlakukan dua kurikulum secara nasional, melainkan mempersiapkan sekolah-sekolah dengan "kurikulum lama" untuk kemudian "mencicipi" kurikulum baru jikalau nanti sudah dirasa tidak banyak halang-rintang.
Jadi, publik perlu sejenak bertenang dari karena sebenarnya "ubrak-abrik" kurikulum itu bukanlah hal yang tabu alias dipantang. Terlebih lagi di era milenial sekaligus pandemi seperti hari ini.
Selain mengedepankan esensi, kurikulum juga mesti menjalankan perannya sebagai perangkat mata pelajaran yang memiliki nilai relevansi, efisiensi, efektivitas, kesinambungan, fleksibilitas, serta cepat beradaptasi dengan tuntutan zaman.
Barangkali banyak orang menganggap bahwa kurikulum CBSA atau kurikulum rentjana pelajaran terurai 1952 lebih efektif dan oke. Tapi, keefektifan dan ke-oke-an kurikulum ini bisa jadi hanya berlaku pada masanya saja, kan? Alasannya cukup terang, yaitu, kita berada di zaman yang berbeda.
Namun, permasalahannya saat ini adalah, kegiatan "ubrak-abrik" kurikulum tidak terlalu menyentuh esensi dari pembelajaran itu sendiri.
Kurikulum nasional 2013 misalnya, yang "diributkan" orang-orang kebanyakan tentang sukarnya implementasi nilai-nilai karakter yang tertuang dalam kurikulum, macetnya distribusi buku-buku revisi terbaru, hingga lambannya para guru dalam meng-upgrade kompetensi.
Padahal, masalah inti dari kegiatan "ubrak-abrik" kurikulum demi kemajuan pendidikan tidak tentang itu, kan?
Ibarat kata, kalaulah kemudian kurikulum yang dihadirkan akan menyulitkan guru dari segi upgrade kompetensi, menyulitkan pelaksanaan pembelajaran di sekolah karena buku ajar harus direvisi tiap tahun, menyulitkan implementasi nilai-nilai karakter karena modelnya kurang pas, mengapa kemarin kurikulumnya dibuat seperti itu!
Alhasil, hal-hal yang lebih cocok untuk dirombak bukan hanya berfokus pada implementasi di lapangan melainkan desain kurikulumnya, karakteristik kurikulumnya, hingga evaluasi kurikulum agar nantinya menghasilkan sebuah model yang mampu mendorong kemantapan praktik pembelajaran.