Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Dear Myself, Jangan Terbang karena Pujian, Jangan Tenggelam karena Hinaan

24 Agustus 2020   20:38 Diperbarui: 24 Agustus 2020   20:41 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Daniel Reche dari Pexels

"Ternyata, hidup itu memang menghasilkan beragam rasa, ya!"

Tidak melulu bisa ditebak, begitulah hidup dan jalan kehidupan. Ketika hidup ini mau kita ungkap dengan rasa, maka muncullah bermacam-macam rasa berikut dengan detail-detailnya.

Ada rasa senang, ada rasa sedih. Ada rasa suka, ada duka. Tapi, beragam perasaan itu tidak selalu sama antara orang yang satu dengan yang lainnya. Rasa itu mungkin sama, ketika orang-orang sudah memploklamirkan ungkapan "sama rasa."

Maka dari itulah muncul berbagai ungkapan tentang rasa seperti senang melihat orang bahagia, senang melihat orang susah, sedih melihat orang sedih, serta sedih melihat orang senang. Wajar, kan? Tentu saja, isi hati manusia siapa yang tahu! Kecuali? Hanya Tuhan semata.

Kemudian, seiring dengan bergantinya hari di kalender kehidupan, masing-masing dari kita mulai berpikir untuk menata hidup yang lebih baik. Berpijak dengan berbagai rasa tadi, ada dari kita yang semangat untuk bersekolah, semangat untuk bekerja, dan semangat untuk berbahagia.

Hanya saja, yang namanya semangat tidaklah seteguh dan sekuat itu. Pengaruh dari ungkapan rasa yang dilemparkan oleh orang-orang di sekitar kita adalah penyebabnya.

Karena kita tidak sendirian dalam hidup, kan? Begitulah. Semangat seringkali digerus oleh dua sikap yang datangnya dari myself maupun orang lain. Sikap pertama adalah pujian, dan sikap kedua adalah hinaan.

Kenyataannya, jika pujian maupun hinaan itu datangnya dari diri sendiri, mungkin hati ini tidak akan merespon secara berlebihan. Maklum, kitalah yang lebih tahu tentang diri kita sendiri, dan orang lain banyak yang sekadar "tebak-tebak" tentang seperti apa sesungguhnya diri ini.

Alhasil, sikap sekadar "tebak-tebak" rasa dari orang lain inilah yang kemudian bisa membahayakan kita. Lha, kok bahaya?

Tentu saja. Sudah berapa banyak orang-orang yang tergila-gila karena makan nasi berlaukkan pujian. Sudah berapa banyak orang-orang yang susah move on gara-gara terus "bermandikan" hinaan. Ini mengerikan, apalagi kalau kita terlalu baperan.

Dear Myself, Jangan Terbang karena Pujian
Gambar oleh jacqueline macou dari Pixabay 
Gambar oleh jacqueline macou dari Pixabay 

Bagaimana rasanya makan pujian, apakah enak? Bagi hati, mungkin enak, ya. Enak banget malahan! Hanya saja, pujian itu mirip seperti angin. Mau kita makan dan kita tampung sebanyak apapun, ujung-ujungnnya kita tidak akan pernah kenyang. Meletus iya!

Tapi, beda halnya bila myself alias diri ini bisa memanajemen pujian dari orang lain secara "kreatif." Maksudnya? Ya, hembusan angin tidak selalu merugikan kita, kan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun