Pernahkah dirimu terjatuh karena tersandung batu, terpijak kulit pisang atau tak sanggup berdiri tegak di lantai yang licin?
Kukira pasti pernah, ya. Bahkan, bagi beberapa orang, tidak cukup sekali baginya untuk terjatuh di lubang yang sama, juga dengan cara yang sama. Meski demikian, yang ingin kutanyakan adalah, bagaimana perasaanmu di kala itu?
Ketika ada anak yang sedang berlari-lari kecil kemudian ia terjatuh, biasanya anak itu menangis. Bajunya kotor dihampiri comberan, lututnya memar dicium aspal, dan bisa jadi sebagian celananya robek karena efek kejut dari sikap jatuh.
Sayangnya masalah anak tadi tidak selesai sampai di situ. Terkadang, sebagian orang yang berjalan bersama anak itu menghiburnya dengan cara tidak biasa, dan itu cukup menghancurkan hatinya. Misalnya:
"Dapat enggak kataknya?"
"Tadi lompat-lompat mau nangkap duit, kah?"
Ingin kubertanya seketika, sebenarnya ungkapan ini adalah hiburan atau hinaan? Sontak saja, sebagian anak yang tak kuat hati menerima "hiburan" seperti ini akan berusaha menangis lebih keras sebagai dalih untuk menutup rasa malunya.
Tapi lagi-lagi mereka hanyalah anak-anak yang mungkin belum begitu mengerti tentang apa itu rasa malu maupun terhina. Ketika jatuh, yang mereka rasakan ialah sakit secara fisik, sedangkan hati bin batinnya mencoba untuk melupakan hal yang terjadi hari ini. Caranya? Ya menangis.
Lalu, bagaimana dengan kita?
Kuakui, kisahnya orang dewasa sungguh rumit dan kompleks. Berbagai masalah yang hadir di pelupuk mata kadang tidaklah bisa diselesaikan dengan rute penyelesaian yang sederhana. Mirisnya, masalah itu datangnya suka bergerombol hingga diri ini mudah terserang semak hati.
Contoh, ada seorang pemuda. Bertahun-tahun ia mencari kerja dengan berbekal ijazah sarjana, namun tak kunjung dapat jua. Umur terus bertambah angka, orangtua sudah berharap ia menikah, dan bisnis yang pernah ia perjuangkan terburu gagal sebelum menyentuh 1/10 dasawarsa.
Lalu, pemuda ini kecewa, kah? Bisa jadi tidak, bisa jadi kecewa berat. Namun, karena setiap insan dihadiahkan organ lembut berupa hati, rasa kecewa itu rawan hinggap dan menginap dalam waktu yang lama di dalam diri.
Siapa yang tak kecewa bila dirinya berkali-kali terjatuh. Jatuh sekali, mungkin masih bisa bangun. Jatuh dua kali, menghela napas sejenak, lalu bangun kembali. Tapi kalau terus jatuh? Terkadang, hati ini tidak sekuat dan setajam batu gunung. Butuh entah berapa masa untuk kembali bangkit.
1 hari? 2 hari? Atau 1 minggu? Sayangnya ketika seseorang sudah mulai mengamati kenaikan umurnya, pikiran ini malah dipenuhi dengan rentetan pertimbangan.