Kalau pola pikir diri ini masih begitu, rasanya kita perlu move on dari pandangan sempit ini. Terang saja, bila tolok ukur kebahagiaan adalah kemewahan, maka sampai mati pun kita tak akan pernah meraih kebahagiaan. Hari-hari nantinya hanya akan dipenuhi dengan ketidakpuasan diri atas apa-apa yang telah diri dapatkan sekarang. Bahayakah? Kalau tidak bahagia, ya bahaya!
Dan kenyataannya, di luar sana banyak sekali orang-orang yang bahagia walaupun hidupnya jauh dari kemewahan.
Sehari-hari hanya makan nasi pakai telur dadar yang kemudian dibagi-bagi kepada seluruh anggota keluarga, tapi mereka bahagia. Mereka berbahagia dalam kesederhanaan. Kiranya, inilah yang perlu kita tiru untuk memperbaiki kualitas hidup, agar menjadi sosok yang bermakna.
Berbahagia atas kesederhanaan hidup sudah menjadi kekayaan tersendiri bagi kita. Harta bisa dicari, tapi banyaknya harta tetap tak mampu untuk membeli sebuah kebahagiaan. Dan, yang paling penting adalah, dengan berbahagia atas kesederhanaan kita bisa lebih sering bersyukur.
Kurasa, syukur adalah salah satu sikap yang mencerminkan kedewasaan seseorang. Kalau kita gabungkan antara kebahagiaan, kesederhanaan dan syukur, maka aku meyakini bahwa di sanalah letak kehidupan yang bermakna.
Salam bahagia.