Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menghela Nafas Sejenak | PJJ Akan Terasa Lebih "Indah" Saat Dinikmati

3 Agustus 2020   20:04 Diperbarui: 3 Agustus 2020   20:19 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Arga Mahendra siswa MI Ruhul Islam saat PJJ online di kawasan Kampung Penampungan Gasong, Jakarta, Selasa (21/7). FOTO: Republika/Thoudy Badai

Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) tidak efektif? PJJ butuh kuota besar? Mau beli pulsa tapi tak ada uang? Ya, ya, ya. Saya tahu, dan sebagai guru saya pula terkena dampaknya. Bukan tentang kuota, bukan pula tentang pulsa. Tapi, ini tentang sinyal.

Sejatinya, Pembelajaran Jarak Jauh adalah pendidikan formal berbasis lembaga yang peserta didik dan gurunya berada di lokasi terpisah sehingga memerlukan sistem telekomunikasi interaktif untuk menghubungkan keduanya serta berbagai sumber daya yang diperlukan di dalamnya.

Kalau di sekolah kami tak ada sinyal bahkan sistem telekomunikasi interaktif lainnya, apakah masih layak disebut PJJ? Bila saya sebut itu PJJ, bukankah  praktiknya sudah “melanggar” pengertian dari PJJ itu sendiri?

Sayangnya tidak, sama sekali tidak. Sistem PJJ yang bisa diterapkan di sekolah-sekolah non-sinyal namun masih dalam jangkauan zona merah covid-19 adalah memberikan lembar kerja. Bahasa tradisionalnya adalah “penugasan.”

Sedangkan sebagian guru yang lain, menyempatkan diri untuk mengunjungi siswa ke rumah-rumah, atau bisa juga membuat kelompok belajar dengan memperhatikan protokol kesehatan.

Lalu, apakah kemudian membuat lembar kerja bisa kita anggap lebih mudah daripada menggelar daring?

Sama sekali tidak, bro! Kalaulah lembar kerja itu hanya berupa salinan dari buku-buku, difotokopi hingga berwarna hitam putih, atau dicatatkan di papan tulis barulah kita bisa bilang itu mudah.

Tapi nyatanya tidaklah seperti itu. Guru-guru yang peduli, guru-guru yang peka dengan kebosanan siswa tidak akan mau menyusahkan anak-anak bangsa dengan tugas yang maha berat.

Guru juga mengerti, guru juga punya hati. Syahdan, guru pasti akan berpikir keras bahkan sampai begadang demi meracik lembar kerja yang asik, seru, serta memungkinkan adanya jalinan komunikasi interaktif antara anak dengan orangtua.

Dan di sisi lain, belum sempat menghela napas panjang untuk menikmati suasana pendidikan di era pandemi ini, kita terpaksa harus mengkernyutkan dahi gara-gara polemik PJJ yang menggunakan sistem daring.

Ada siswa yang rela menumpang WiFi di kantor polisi, ada juga yang hospot-an di kantor imigrasi hingga warung kopi. Barangkali berjuta-juta umat media sosial prihatin dengan keadaan ini.

Foto : Anak-anak belajar di kantor Polsek Alok (Instagram Humas Polsek Alok) via KOMPAS
Foto : Anak-anak belajar di kantor Polsek Alok (Instagram Humas Polsek Alok) via KOMPAS

Dari sana, semua pihak bisa saja tersalahkan. Mengapa tak berikan kuota gratis, mengapa gurunya kurang pengertian dengan ketidak-berdayaan anak, mengapa Mas Nadiem seakan tak peduli, dan lain sebagainya.

Semua penuh dengan mengapa dan mengapa, tanpa ada karena, tanpa ada “begini saja”. Lalu, anak-anak bisa apa? Anak-anak bisanya belajar, dan kalau memungkinkan, mereka rela numpang di tempat-tempat tertentu yang kuotanya dibayar oleh pemerintah.

Hanya itulah cara mereka menyindir Mas Nadiem, menyindir Kemendikbud, menyindir dinas pendidikan daerah setempat agar mau lebih intens menjalin komunikasi dengan para pemangku kebijakan “urusan sinyal.”

Anak-anak tidak bisa keras-keras menyindir. Kecuali kalau mereka sudah jadi politisi, barulah mereka bisa terus berkoar-koar tentang urusan kependidikan. Mudah saja kalau sudah begitu. Mereka punya nama, punya jabatan, sehingga para jurnalis akan senantiasa “menggoreng” dan meliputnya.

Satu teriak “enggak becus” , satu lagi teriak “reshuffle, mundur saja!”. Ibaratkan bunyi sebuah gentong kosong, teriakan itu begitu rongak. Jarang rasanya kita dapatkan ada “air” dari gentong, alias jalan keluar.

Kita cukup paham bahwa pandemi yang sudah bergulir hampir setengah tahun ini begitu menyiksa seluruh sektor, tidak terkecuali sektor pendidikan. Meski demikian, rasanya kalau kita terus berkeluh tanpa mau menerima dan menghadapi kenyataan, repot juga, ya!

PJJ akan Terasa Lebih “Indah” Saat Dinikmati

Gambar oleh Kevin Phillips dari Pixabay
Gambar oleh Kevin Phillips dari Pixabay

Entah sadar, entah tidak. Perlahan-lahan suasana PJJ mulai bisa dinikmati oleh sebagian guru dan siswa. Bukan tentang subsidi kuota dari pemerintah, bukan juga tentang smartphone baru yang dibeli orang tua. Tapi ini tentang bagaimana pelaku pendidikan menghadapi PJJ.

Sebagian guru dan siswa? Yang mana? Yaitu mereka yang mencoba menghela napas sejenak dari keruwetan PJJ hari ini. Yaitu mereka yang mencoba menyingkirkan keluh, menerima kenyataan, ketimpangan hingga kesenjangan antara sekolah-sekolah “berada” dengan sekolah 3T.

Lagi, kita sama-sama tahu bahwa hari ini kondisi pendidikan begitu pelik dan meresahkan. Darinya, kita butuh inovasi, kreasi, serta variasi agar PJJ terasa lebih bermakna.

Untuk mencapai “keindahan” alias PJJ yang bermutu, sudah pasti harus ada kerelaan alias sikap menerima kenyataan terlebih dahulu, walau sementara. Bukan berarti putus asa dan enggan menuntut lebih loh, ya!

Tadi saat di sekolah, saya sempat berjumpa dengan anak-anak. Di minggu keempat tahun ajaran baru 2020/2021 para siswa masih harus belajar di rumah.

Mereka datang ke sekolah untuk mengambil tugas, sementara itu guru melakukan refleksi atas pembelajaran. Durasinya tidak lama, tapi, cukuplah untuk mendapat gambaran sejauh mana pengetahuan yang didapat siswa saat belajar dari rumah.

Di sela-sela refleksi tadi pagi, saya merasa bahwa anak-anak mulai menikmati PJJ. Mereka cukup bersemangat menanyakan berapa nilai tugas-tugasnya, bagaimana komentar saya terhadap tugas yang mereka racik, dan mulai menebak-nebak tugas seperti apa lagi yang akan saya berikan.

Guru mana yang tidak semangat kalau sudah “dibeginiin” oleh siswa-siswinya. Satu poin penting yang saya dapatkan, yaitu, anak-anak sudah terlepas dari kengerian “tugas maha berat.”

Dengan adanya lembar kerja yang kreatif sekaligus manajemen waktu yang oke, anak-anak mulai bisa menata “mau dibawa ke mana” kelas mereka. Apakah ini berlaku untuk guru lain? Semoga saja, ya.

Kiranya, inilah salah satu “keindahan” dari PJJ ketika guru dan siswa mau menikmatinya. Terlepas dari segala keruwetan, polemik serta keluh kesah yang belum berkesudahan, rasanya proses adaptasi PJJ perlu dinikmati. Ya, walaupun hanya sejenak layaknya menghela napas.

Usulan sudah kita hadirkan ke meja Kemendikbud, berarti, tinggal mereka lagi yang harus bergerak. Sebenarnya, tidak hanya kita yang di lapangan saja yang harus beradaptasi, mereka para pemangku kebijakan juga harus peka.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun