Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pak Jokowi Sudah Kurban Sapi, Mas Nadiem Mau "Kurban" Apa untuk Pendidikan?

1 Agustus 2020   12:49 Diperbarui: 1 Agustus 2020   14:14 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Sandra Schn dari Pixabay

Idul Adha mulai berganti hari, tapi suasana dan momentumnya masih terus terasa. Terang saja, pelaksanaan kurban tidaklah cukup hanya satu hari saja. Apalagi hari raya Idul Adha jatuh pada hari Jumat (31/07/2020). Harinya adalah sayyadul ayyam, tapi waktunya berasa lebih singkat.

Meski demikian, Idul Adha tetaplah hari baik nan mulia yang luar biasa. Bahkan bisa pula kita sebut dengan 2 hari raya karena 10 Dzulhijjah bertepatan dengan hari Jumat yang juga merupakan hari baik bin mulia.

Saat umat muslim bertumpah-ruah di masjid-masjid dan di lapangan kemarin, tampaklah bahwa masalah-masalah yang terjadi di negeri ini telah disingkirkan sejenak. Itu artinya, pandemi bukanlah penghalang kebahagiaan.

Kesusahan ekonomi? Nanti saja. Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dan kuota? Nanti dulu. Yang terpenting adalah, bagaimana momentum Idul Adha mampu mengingatkan kita kepada orang-orang yang tak pernah bisa kita balas budi baiknya, yaitu kedua orangtua.

Dan di sisi lain, ada pula kisah tentang Kurban. Misalnya kisah Kurban yang datang dari orang nomor satu se-Indonesia, Pak Presiden Jokowi. Apa yang menarik dari sini?

Yang menarik adalah, Pak Jokowi berkurban 1 sapi untuk setiap provinsi di Indonesia. Jumlah provinsi kita ada 34, berarti 34 sapi yang dihadiahkan oleh Jokowi untuk memeriahkan Idul Adha. Adapun bobot sapi, yaitu mulai dari 800Kg -- 1 ton. Sapi paling berat ada di NTB, yaitu 1,3 ton.

Alhamdulillah. Semoga doa yang baik selalu tercurahkan untuk Presiden kita, untuk kemajuan negara kita, dan juga untuk menguatkan tali persaudaraan sesama hamba se-Indonesia.

Secara tidak langsung, Pak Jokowi sudah membantu mengisi perut masyarakat di seluruh Indonesia yang selama ini berada pada tingkat ekonomi lemah. Semoga saja daging-daging yang lezat itu bisa sampai ke rumah-rumah mereka.

Mas Nadiem Mau "Kurban" Apa Untuk Pendidikan?

Sama halnya dengan Pak Jokowi, segenap menteri-menteri lainnya juga ikut berkurban, tidak terkecuali dengan Mas Nadiem.

Sang Mendikbud yang kemarin telah melaksanakan sholat Idul Adha 1441 H di Masjid Baitut Tholibin, Kantor Kemendikbud, Jakarta, Jumat (31/7) secara simbolis memberikan hewan kurban satu ekor sapi.

Tidak hanya sampai di situ, Panitia kurban Masjid Baitut Tholibin juga menerima 14 ekor sapi dan 7 ekor kambing dari pejabat di lingkungan Kemendikbud. Alhamdulillah. Semoga Mas Nadiem dan Kemendikbud diberi kemudahan untuk memacu pendidikan kita agar lebih wow.

Pak Jokowi sudah kurban sapi, Mas Nadiem dan Kemendikbud juga sudah. Nah, pertanyaan lanjutan yang kiranya boleh dimunculkan adalah, "Mas Nadiem mau kurban apa untuk Pendidikan?"

Sesaat, barangkali sebagian dari kita menilai bahwa, adalah wajar ketika pejabat pemerintah berkurban di hari raya Idul Adha. Terang saja, momentumnya ada, dan mereka juga orang-orang yang berpunya.

Tapi, bukankah lebih wajar lagi bila mereka juga senantiasa terus berkurban sesuai dengan tupoksinya?

Momentumnya bukanlah semata Idul Adha, melainkan  masalah-masalah yang hadir ke meja di dalam kantor kerja.

Seperti halnya Kemendikbud dan Mas Nadiem, hadirnya problema seperti keluh-kesah PJJ hingga polemik POP juga perlu diselesaikan dengan cara berkurban. Terutama persoalan PJJ yang sudah memasuki tahun ajaran baru namun masih menuai polemik.

"Kurban" seperti apa yang dimaksud di sini?

Agar lebih jelas, kita tilik dulu arti kurban dari segi bahasa. Kurban (bahasa Arab) diambil dari  kata qaruba -- yaqrabu yang artinya dekat, mendekati, atau menghampiri. Dekat di sini adalah hubungan kepada Sang Khalik atau yang lebih kita kenal dengan "takwa."

Namun, saya tidak akan mengajak pembaca lebih jauh mengulas kurban. Kita hanya akan mengambil unsur "dekat" dan perannya dalam menyudahi polemik PJJ.

Apa yang kemudian terpikirkan oleh kita? Agaknya, kalaulah kata "dekat" kita hubungkan dengan PJJ dan Mas Nadiem, maka kesimpulan awal yang bisa diambil adalah, "Mas Nadiem perlu jalan-jalan alias turun ke lapangan untuk menyelesaikan masalah PJJ."

Dengan begitu, Mas Nadiem bisa lebih dekat dengan pendidikan, lebih dengan dengan guru dan siswa, serta lebih dekat dengan permasalahan pendidikan yang sebenarnya terjadi. Nah, pertanyaan lagi, apakah Mas Nadiem sudah jalan-jalan dan lebih dengan dengan masalah PJJ?

Sekarang, kita kembali lagi ke asal kata Kurban, yaitu qaruba dan yaqrabu.

Yaqrabu dalam bahasa Arab merupakan Fi'il Mudhari' yang berarti sedang atau akan melakukan tindakan "mendekati." Sedangkan Qaruba adalah Fi'il Madhi' yang berarti telah melakukan tindakan "mendekati."

Jadi, dari sini, mana tindakan Mas Nadiem yang sedang dilakukan, yang akan dilakukan, dan yang telah dilakukan untuk mencapai "kedekatan" di bidang pendidikan?

Terkait dengan masalah PJJ, hal yang telah dilakukan Mas Nadiem adalah melahirkan kebijakan penggunaan Dana BOS untuk pembelian kuota internet. Selain itu, beliau juga sudah mengadakan kerja sama dengan beberapa aplikasi digital dan provider internet untuk mendukung PJJ.

Lalu apa lagi?

Mas Nadiem telah melakukan jalan-jalan alias kunjungan ke SDN 1 Polisi, Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis (30/7/2020).  Di sana sang Mendikbud melakukan audiensi dengan para guru dan membahas tentang PJJ.

Mendikbud mengunjungi sejumlah sekolah di Bogor untuk memantau PJJ di sekolah tersebut, Bogor, Jawa Barat, Kamis (30/7/2020). Foto: ANTARA/Katriana
Mendikbud mengunjungi sejumlah sekolah di Bogor untuk memantau PJJ di sekolah tersebut, Bogor, Jawa Barat, Kamis (30/7/2020). Foto: ANTARA/Katriana

Alhasil, beliau mendapatkan inspirasi pembelajaran baik yang bersistem daring maupun luring dan menyanjung para guru di sana karena sudah kreatif mengajar menggunakan berbagai platform.

Nah, apakah kegiatan kunjungan ini sudah cukup mewakili seluruh sekolah? Tentu saja belum, maka dari itulah kata "platform" saya tebalkan sekaligus digarisbawahi. Mas Nadiem belum dekat dengan sekolah 3T. Artinya, kedekatan beliau terhadap permasalahan PJJ masih setengah jalan.

Mas Nadiem belum mendekati siswa yang belum punya smartphone, siswa yang numpang WiFi di polsek, orangtua yang sudah berat hari membeli kuota, serta sekolah-sekolah terpencil.

Kalau terus dibiarkan, polemik PJJ tidak akan berkesudahan. Sepertinya, Mas Nadiem perlu memetakan kebutuhan PJJ. Mas Nadiem perlu lebih dekat dengan dinas pendidikan daerah sebagai jalan menuju kedekatan pendidikan yang sesungguhnya.

Terang saja, sekolah-sekolah yang menggelar PJJ bukanlah sekolah yang berada di Jawa saja. ada Sumatera, Kalimatan, Sulawesi, Nusa Tenggara, hingga Papua.

Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda juga telah meminta hal ini kepada Mas Nadiem dan Kemendikbud. Tidak bisa tidak, karena PJJ tidak bisa dipaksakan di semua tempat.

"Peta kebutuhan sebenarnya pelajar kita yang tidak punya HP, lalu tidak bisa beli pulsa ya, hampir tembus 70 juta," kata Huda saat dihubungi Kompas.com, Kamis (30/7/2020).

Kreasi dan inovasi guru memang penting. Tapi, persoalannya, bagaimana jika sekolah hanya bisa diam karena tak mampu mencukupi fasilitas protokol kesehatan, tak bisa menyediakan kuota karena siswanya tak punya HP atau memang sinyalnya yang tidak ada.

Agaknya, dinas pendidikan di daerah akan disorot atas keruwetan PJJ ini. Tapi, bukankah mereka juga perlu diarahkan oleh Kemendikbud dan Mas Nadiem? Tentu saja, minimal, ada surat edaran. Setelah itu, barulah masing-masing daerah bisa bergerak tanpa takut menyalahi kebijakan.

Gambar oleh Sandra Schn dari Pixabay
Gambar oleh Sandra Schn dari Pixabay

Sesungguhnya, kita kasihan dengan Mas Nadiem. Belum genap satu tahun beliau duduk di kursi Mendikbud, sudah diserang oleh pandemi, sudah dihampiri oleh polemik PJJ dan setumpuk permasalahan pendidikan dalam negeri.

Selain itu, kita juga tambah kasihan saat melihat anak-anak di negeri ini. Masih ada banyak dari mereka yang belum dipenuhi hak-hak kemerdekaan belajarnya. Masa iya, kemerdekaan belajar hanya ditentukan oleh sinyal internet, smartphone dan kuota?

Maka dari itulah, Mas Nadiem perlu "Kurban" lebih banyak untuk pendidikan. Tidak sekadar sapi, kambing, atau bahkan unta, tapi juga "Kurban" untuk memenuhi hak tiap-tiap anak atas pendidikan.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun