Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membayangkan Kesusahan Orangtua yang "Banyak Anak" dalam Memfasilitasi PJJ

28 Juli 2020   11:58 Diperbarui: 28 Juli 2020   12:06 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun ajaran baru sudah melaju setengah babak di bulan Juli, tapi kisah dan polemik belajar online dalam payung Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) belum usai. Hari demi hari, masalah dan keluhan terus bermunculan layaknya daun yang berguguran.

Cerita keluhnya relatif sama. Adalah tentang keterbatasan akses pendidikan dari sisi sinyal, smartphone, kuota internet, hingga faktor geografis seperti jarak rumah menuju ke sekolah.

Saking banyak dan kompleksnya masalah pendidikan di era pandemi ini, disinyalir, Mas Nadiem bersama Kemendikbud akan kewalahan dalam menghadirkan kebijakan.

Terang saja, kalau masalah pendidikan kian bergemuruh, landasan prioritas dan berfokus pada salah satu titik maupun tema tertentu saja tidak cukup untuk menyudahinya.

Tambah lagi, PJJ ini antara masalah yang satu dengan masalah lainnya merupakan satu kesatuan dalam hubungan sebab-akibat.  1 masalah muncul, maka masalah tersebut langsung terlihat seperti sedang beranak-pinak.

Misalnya, anggaplah ada anak yang terkendala belajar online karena tidak punya smartphone, sedangkan jarak antara rumahnya ke sekolah cukup jauh.

Dari sini, kemungkinan yang bisa dilakukan oleh anak tadi adalah, mengunjungi rumah teman, mengunjungi warung internet, serta tempat keramaian lainnya. Namanya juga anak-anak, kita tidak bisa mengontrolnya setiap detik agar mematuhi physical distancing. Jadi?

Terlepaslah sejenak perhatian anak tadi terhadap protokol kesehatan. Bahaya corona pun mengancam anak tadi. Tapi, semoga saja tidak. Ini hanyalah prasangka yang kemungkinan saja bisa terjadi di suatu hari.

Yang terpenting di hari ini adalah, bagaimana caranya pemerintah dan stakeholder pendidikan di berbagai penjuru bumi Indonesia mampu memberikan akses pendidikan yang menjangkau seluruh anak bangsa, tanpa terkecuali.

Kebutuhan anak-anak yang belajar daring difasilitasi, kebutuhan anak-anak yang belajar secara luring juga difasilitasi. Mereka sama-sama punya hak.

Untuk memenuhi hak-hak anak ini, Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda pun ikut berkomentar. Beliau mengatakan bahwa seharusnya Nadiem membuat peta kebutuhan PJJ secara rinci.

"Berapa sih anak sekolah Indonesia yang ada 72 juta orang itu, tidak punya ponsel? Berapa anak punya ponsel pintar tapi enggak punya kuota? Berapa sekolah yang tidak sanggup melaksanakan PJJ? Dan seterusnya," ujar Syaiful dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu (26/7).

Atas pertanyaan Huda yang berderet-deret ini, ingin rasanya saya menambahkan satu pertanyaan lagi. yaitu:

"Didata juga pak, berapa anak-anak yang sedang sekolah dalam 1 keluarga!"

Saya semalam sempat membayangkan bagaimana susahnya para orangtua yang "banyak anak" dalam memfasilitasi kegiatan belajar online. Kalau 1 anak, mungkin persiapan orangtua biasa-biasa saja. 2 anak, masih lebih baik seperti slogannya. Tapi kalau sudah lebih dari 2?

"Banyak anak, banyak rezeki. Benar begitu, kan?"

Benar begitu adanya. Kiranya, mayoritas penduduk bumi tidak akan menolak ungkapan ini. banyak anak, maka banyak rezeki, itu hal yang pasti. Tapi, banyak pula hal-hal yang harus ditanggung oleh orangtuanya, kan?

Itulah tantangan besar dalam rumah tangga. Apalagi dari sisi ekonomi. Bayangkan saja saat ekonomi dalam satu keluarga besar yang banyak anak hanya pas-pasan.

Kalau mereka masak telur dadar, biasanya telur itu ditambah kentang, dibuat besar-besar, kemudian dipotong antara 6-8 bagian. Kalau mau dirapel hingga 2 kali makan, maka jumlah potongan tadi malah bisa lebih besar sekaligus lebih kecil.

Ini baru urusan makan. Lha, kalau sudah mengarah ke belajar online, bagaimana? Kuota misalnya. Kita urai biaya salah satu aplikasi belajar online yang bernama Zoom.

Ilustrasi Zoom. Gambar oleh Jagrit Parajuli dari Pixabay
Ilustrasi Zoom. Gambar oleh Jagrit Parajuli dari Pixabay

Dikutip Pikiran-Rakyat dari laman review.org, untuk panggilan video satu lawan satu di Zoom akan menghabiskan kira-kira 540 MB per jam nya untuk kualitas standar. Kuota ini bisa saja bertambah kalau saja akses internet di suatu daerah cukup cepat dan lancar.

Okelah, kita anggap saja pas di angka 500MB untuk sekali belajar online menggunakan aplikasi Zoom. Karena banyaknya mata pelajaran yang diampu oleh siswa, maka tidak mungkin penggunaan Zoom hanya 1 kali dalam 1 minggu. Kita misalkan saja, penggunaannya 5 kali.

1 minggu=3 kali. 1 bulan berarti 12 kemudian dikalikan dengan 500 MB = 6 GB. Ini baru satu anak, dan belum termasuk dengan keisengan anak nonton Youtube untuk menyegarkan pikiran, serta jelajah mbah Google untuk membuat tugas.

Dalam 1 bulan, kita totalkan saja penggunaan kuota internet untuk 1 anak adalah 10 GB. Harga kuota 10 GB di salah satu provider internet adalah Rp73.000. Nah, bagaimana bila anak-anak yang bersekolah di sebuah keluarga ada 3-4 orang?

1 anak SD, 1 anak SMP, 1 anak SMA dan 1 anak sedang kuliah. Kalau kita kalikan 73.000 dengan 4 orang anak, maka orangtua harus mengeluarkan uang tambah sebesar Rp292.000/bulan. Ini di luar jajan anak beli bakso, sate dan es cream, kan?

Ilustrasi pemakaian Kuota Internet. Gambar dari  dnaberita.com
Ilustrasi pemakaian Kuota Internet. Gambar dari  dnaberita.com

Barangkali, bagi anak-anak yang selama ini sering nonton Youtube, sering rusuh di Twitter, hingga sering update story di Instagram, kuota mereka tak terbatas karena sudah ada WiFi di rumah.

Tapi, bagaimana dengan nasib orangtua yang tadi saat masak telur saja sudah dipotong-potong hingga 6 bagian? Sedihlah kita, prihatin juga. Maka dari itulah, keluh kesah orangtua terhadap belajar online tidak pernah putus berkeliaran di media-media online.

Bahkan, kenyataan yang terjadi hari ini malah lebih pahit lagi daripada hitung-hitungan di atas tadi. Semalam, saya sempat menanyai salah seorang murid SMA yang bersekolah di SMA Favorit.

Dia seorang perempuan, punya 1 orang adik yang tahun ini baru masuk SMA, dan 1 kakak yang sedang kuliah di luar provinsi.

Karena murid perempuan ini jauh dari sekolah, ia pun mengontrak di desa dekat sekolah. Adiknya juga demikian. Masing-masing biaya kontrakan mereka adalah 4,5 juta dan 5 juta.

Dia menuturkan, saat belajar online, sebenarnya kuota yang digunakan tidaklah sampai 10GB/bulan. Tapi, karena untuk buat tugas diperlukan jelajah Google pula, akhirnya dia membeli kuota 32GB/bulan.

Bisa kita bayangkan! Sudah ngontrak, butuh kuota internet besar, kemudian punya 2 saudara kandung yang juga masih sekolah. Dan, setelah saya tanyakan lebih lanjut, ternyata orangtuanya hanya berprofesi sebagai agen kopi sekaligus petani sederhana saja.

Sungguh hebat orangtuanya bisa menyekolahkan 3 anak sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Biayanya pun sudah cukup memusingkan kepala.

Nah, sampai di sini, coba kita sandingkan dengan support kuota internet yang ditawarkan oleh Mas Nadiem. Kuota internet diambil dari dana BOS. Tapi, apakah tiap-tiap sekolah mampu memberikannya kepada siswa dalam jumlah besar?

Tentu tidak. Mungkin, dalam 1 bulan tiap-tiap siswa hanya mendapatkan 2-5 GB saja. apakah ini tiap bulan? Mana saya tahu. Kembali kepada kebijakan masing-masing sekolah.

Jadi, tergambarlah sudah bagaimana kesusahan para orangtua yang "banyak anak" dalam mencukupi kebutuhan belajar anak-anak mereka. Ditambah dengan pandemi, agaknya perjuangan mereka semakin berat.

Di sinilah kemudian kita tak bisa memungkiri fakta bahwa sejatinya program "Internet Gratis untuk Siswa dan Guru" sangatlah bermanfaat dalam kegiatan PJJ.

Selama ini, pemerintah melalui Kemendikbud sudah menggandeng berbagai aplikasi belajar daring. Netflix juga malahan. Mengapa tidak sekalian mereka gandeng juga berbagai provider internetnya, ya?

Entahlah. Harapannya, guru-guru yang mengajar bisa lebih bijak dalam memutuskan sistem PJJ. Dan harapan terbesar, semoga pandemi ini segera berlalu. Agar kita bisa menggelar pembelajaran tatap muka tanpa ada halangan yang berarti.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun