Saat menatap wajah pendidikan Indonesia di era Merdeka Belajar hari ini, teringatlah saya dengan pohon mangga. Adalah pohon mangga yang berbuah dengan rimbunnya. Dari kejauhan, kita tak dapat membedakan lagi mana yang daun dan mana yang buah mangga.
Karena pohon mangga tadi terlalu rimbun dengan buah, maka ada beberapa premis yang mungkin akan terjadi terhadapnya. Pertama, buah-buah mangga tadi akan rontok sebelum ranum. Kedua, pohon mangganya sendiri yang akan timpang karena tak kuasa mengemban harapan sang buah.
Kembali kepada tatapan terhadap wajah pendidikan Indonesia, agaknya dua asumsi tentang pohon mangga ini cukup searah dengan kisah kereta jurusan Merdeka Belajar yang dimasinis-i oleh Mas Nadiem.
Harapan-harapan yang tertuang dalam program asuhan mantan CEO Go-Jek terasa rimbun. Sangat rimbun malahan, terutama ketika kita menyandingkan apa yang diharapkan dengan apa yang sudah didapat hari ini.
Sebenarnya dari awal Mas Nadiem duduk di kursi panas Mendikbud pada akhir Oktober tahun lalu, tebak-tebakan tentang kesenjangan sebelah wajah pendidikan sudah tampak.
Mas Nadiem pada awalnya adalah pebisnis yang tamat dari sekolah bisnis, kemudian diangkat oleh Pak Jokowi untuk menahkodai pendidikan. Apakah hal ini berarti bahwa dunia pendidikan akan dijadikan lahan bisnis? Lagi-lagi, ini hanya prasangka alias tebak-tebakan semata.
Meski demikian, di awal-awal masa jabatannya, Mas Nadiem langsung menepis prasangka yang terkesan prematur ini.
Bermula dari kata sambutan mutiara pada peringatan Hari Guru Nasional 25 November 2019, dilahirkanlah program-program yang menggoda hati dan iman.
Mulai dari penyederhanaan RPP, penghapusan UN, Kampus Merdeka, perluasan pemanfaatan Dana BOS, hingga tawaran penilaian melalui survei karakter semuanya sudah cukup untuk mengguncang hati para pelaku pendidikan, khususnya guru.
Bagaimana tidak, walaupun prasangka yang datang di awal-awal masa jabatan adalah tentang digitalisasi pendidikan, namun kesan Merdeka Belajarnya juga seakan "Ngena Banget" di hati pemirsa. Persis semanis gula aren.
Dan belum selesai sampai di sana, pada awal bulan ini (02/07/2020) Mas Nadiem juga sudah menambahkan target kerja dalam waktu 15 tahun ke depan untuk wajah pendidikan yang lebih cerah.
Di hadapan Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Mas Nadiem menyampaikan 11 target yang menjadi fokus utama Kemendikbud, antara lain:
- Peningkatan Skor PISA untuk Literasi sebesar 451, Numerasi sebesar 407, dan Sains sebesar 414.
- Jumlah Sekolah Penggerak mencapai 30 ribu.
- Angka Partisipasi Kasar untuk prasekolah sebesar 85%, SD hingga SMA mencapai 100%.
- Jumlah guru yang lulus program PPG baru mencapai 400 ribu.
- Jumlah Guru Penggerak mencapai 300 ribu.
- Jumlah Kepala Sekolah yang diangkat dari latar belakang Guru Penggerak mencapai 150 ribu.
- Peningkatan Anggaran Pendidikan yang ditransfer langsung ke sekolah mencapai 45%.
- Peningkatan Kontribusi sektor swasta untuk sektor pendidikan dalam persentase Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 1,6%.
- Peningkatan Angka Partisipasi Kasar pendidikan tinggi hingga mencapai 50%.
- Jumlah lulusan yang mendapatkan pekerjaan sebanyak 85% untuk SMK dan pendidikan tinggi vokasi.
- Jumlah pengajar yang memiliki pengalaman atau sertifikasi industri mencapai 85% untuk SMK dan pendidikan tinggi vokasi.
Sungguh rimbun harapan Mas Nadiem demi mencerahkan wajah pendidikan Indonesia tercinta. Karena kerimbunan ini, apakah kita tidak takut jika nanti harapannya akan rontok?
Kenyataan pertama, kita selalu punya mimpi yang rimbun untuk kemajuan pendidikan, terutama untuk menjaga persaingan dengan negara-negara tetangga.
Tapi kenyataan kedua, negeri ini juga ditimpa banyak masalah sehingga sikap "menabur harapan yang terlalu rimbun" akan menerbitkan kekecewaan.
Harapan Merdeka Belajar ala Mas Nadiem Lebih "Manis" dari Gula Aren
Kiranya, tidak benar bahwa permasalahan-permasalahan bidang pendidikan yang sedang kita hadapi hari ini disebabkan oleh pandemi. Tapi, tidak salah pula bahwa hadirnya pandemi ikut menelurkan berbagai kisruh dalam dunia pendidikan.
Sebut saja PPDB, PJJ, fasilitas layanan pendidikan, tugas-tugas anak yang dinilai "maha berat" hingga kebosanan belajar di rumah. Permasalahan ini bukanlah hal yang bisa dikatakan sepele, apalagi jika hanya ditatap sebelah mata.
Kita ambil saja masalah yang sederhana tapi sesungguhnya sangat berat dan krusial. PJJ, alias Pembelajaran Jarak Jauh, baik secara daring, luring, maupun kombinasi.
PJJ, jangankan mau menyoal tentang bagaimana sistem dan tata cara kegiatan belajar, mendengar ucapan PJJ saja para pelaku pendidikan di setiap penjuru negeri sudah serasa diserang gempa. Berarti, sinyal publik terhadap pendidikan sangat kuat, kan?
Sama seperti dampak yang ditimbulkan oleh gempa, masing-masing stakeholder pendidikan merespon cepat setelah mendengar PJJ.
Guru-guru yang semula gagap, kini mulai akrab dengan teknologi. Anak-anak yang selama ini belum diperbolehkan main Smartphone, sekarang sudah dibelikan oleh Emaknya. Dan, ketika masing-masing dari mereka sedang berjuang, PJJ pun tetap berjalan.
Akhirnya, Mas Nadiem pun dianggap telah membaca "peta buta" pendidikan. PJJ belum mampu mengatasi serta memayungi seluruh anak-anak bangsa agar tetap mendapat layanan pendidikan.
Dari sini, Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda pun ikut menuangkan solusi sederhana, namun juga krusial. Beliau mengatakan, seharusnya Mas Nadiem membuat peta kebutuhan PJJ secara rinci.
"Berapa sih anak sekolah Indonesia yang ada 72 juta orang itu, tidak punya ponsel? Berapa anak punya ponsel pintar tapi enggak punya kuota? Berapa sekolah yang tidak sanggup melaksanakan PJJ? Dan seterusnya," ujar Syaiful dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu (26/7).
Sejatinya, kalau sudah berbicara tentang ponsel, kuota dan internet, rasanya tidak sedikit orang yang hanya mampu menjawab "auuh ahh, gelap!" karena tidak mendapati solusi yang "ngena."
Terang saja, baik ponsel, kuota dan internet, masing-masing darinya selalu bersenggolan dengan duit. Belum lagi tentang jaringan. Tambah repot, karena lintasannya sudah mengarah ke alamat Kominfo.
Maka dari itulah, semakin PJJ berjalan begini-begini saja, maka semakin mudahlah bagi kita untuk memberikan cap bahwa harapan Merdeka Belajar ala Mas Nadiem terlalu "manis", bahkan lebih manis dari gula aren.
Terlalu banyak porsi gula pada segelas harapan Merdeka Belajar, dan mengonsumsi gula yang berlebihan tidak baik bagi "kesehatan" pendidikan kita.
Beda dengan gula aren. Kalau gula aren, walaupun rasanya manis, tetapi manisnya pas di lidah dan malah baik untuk kesehatan.
Meskipun begitu adanya, bukan berarti manisnya gula aren selalu lebih baik daripada manisnya harapan pendidikan di era Merdeka Belajar. Ada titik temu yang bisa kita ramu, yaitu tentang bagaimana keseriusan dan kerja keras untuk mendapatkan manis yang pas.
Gula aren yang manis dan penuh manfaat selalu diolah dengan kerja keras. Dari mulai menggoyang-goyang kembang aren, menanti kembangnya mekar, menyadap air nira, memasak air selama 6-8 jam, hingga mencetak gula semuanya butuh proses dan sebaskom keringat.
Begitu pula pendidikan kita yang seharusnya. Untuk mencapai manisnya kemerdekaan belajar, seluruh "oknum" pendidikan perlu membuktikan keseriusan dan komitmennya. Bukan hanya sekadar janji, tapi juga sebaskom keringat dan keterbukaan hati.
Lebih lanjut, dalam membuktikan keseriusan dan komitmen terhadap pendidikan, para pejabat tinggi tidak cukup hanya mengumbar janji serta harapan dari balik jendela ruang kerja.
Ada baiknya sesekali olahraga ke lapangan --agar tidak diabetes karena kemanisan harapan--- agar nanti kemajuan pendidikan bisa dicapai dengan langkah-langkah yang tepat sasaran. Setelahnya, barulah kita bisa menikmati manisnya pendidikan. manisnya pas, dan tidak mengecewakan.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H