Mau bagaimana lagi. Azel itu anak perempuan. Teman sekelasnya yang laki-laki itu mana betah bila harus terus bercengkramah dan bercerita panjang dengan Azel. Mau menunggu kakak kelasnya yang perempuan datang? Tak akan bisa sesering itu.
Makanya, aku merasa perlu untuk mendatangi Azel sekaligus melihat senyumannya dari dekat. Azel memang pendiam, tapi bila kupancing dengan tegur sapa, dia akan lebih terbuka dan bercerita sepuluh kali lipat lebih banyak daripada kalimat sapaku.
"Hai Azel, apa saja kegiatanmu saat liburan kemarin?"
"Banyak, Pak. Aku mengasuh adik, menjemur kopi, belajar mengaji sama Ibu, dan kadang-kadang ikut ke ladang bersama mereka."
Nah, kan! Azel mulai berbicara panjang. Setiap kali aku datangi, dia selalu begitu. Azel akan membuka hati sebesar-besarnya sesaat setelah kumemulai sapa. Mungkin, bicaranya kali ini adalah akibat dari libur panjang sekolah. Mungkin begitu.
"Pak, kapan kita masuk kelas? Kapan Bapak bercerita lagi tentang kisah Kakek dan Cucu yang mengangkut air menggunakan keranjang? Kapan Bapak bercerita lagi tentang Pak Tani dan Monyet di sawah? Kapan, Pak?"
Aku hanya tersenyum bangga. Judul-judul cerita yang Azel sebutkan semuanya sudah kusampaikan satu tahun lalu. Bagaimana dia bisa ingat?
"Maaf ya Nak, Pak Guru belum bisa bercerita banyak!"
Aku hanya mampu berkata begitu. Azel harus segera pulang bersama siswa-siswi lainnya. Dia tidak boleh terlalu lama di sekolah. Saat ini, hari ini, dan waktu ini masih belum aman bagiku untuk bercerita. Mungkin besok, barangkali lusa.
Kepahiang, 15 Juli 2020