Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Jadi Guru, Mendingan Mengajar di Pelosok atau di Kota?

12 Juli 2020   23:52 Diperbarui: 13 Juli 2020   18:40 1802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Zy, nanti misbar ke sini saja. Kan enak kalo mengajar di pusat kota!"

Begitulah saran salah seorang guru senior di awal-awal karierku sebagai guru tetap. Saat itu, tepatnya 2 tahun yang lalu sang guru memberikanku sedikit gambaran tentang keseruan mengajar di sekolah favorit yang dekat dengan kota.

Sebenarnya tanpa beliau jelaskan lebih lanjut bahkan detail, aku sendiri pun sudah tahu dan merasakan.

Terang saja, sebelum lulus sebagai guru tetap aku sudah cukup malang melintang di jagat sekolah favorit. Walaupun hanya 2 tahun mengajar sebagai guru honorer, tapi rasanya diri ini sudah cukup kenyang mencicipi sekolah tersebut.

Tampilan luar-dalamnya sudah kelihatan. Seluk-beluk birokrasi dan keseruannya sudah dirasakan. Begitu pula dengan suka-dukanya. Pokoknya sudah komplit, deh.

Maka dari itulah, anjuran misbar alias pemindahan pegawai ke instansi daerah lain tidak kugubris dengan serius. Aku cuma mengangguk, tersenyum dan bilang "Amanlah itu Pak".

Mau bagaimana lagi, kukira yang namanya abdi negara sekaligus mitra pemerintah tidak bisa seenaknya pindah sini pindah situ. Kecuali di zaman bahuela, itu lain lagi dan birokrasinya pun tak berbelit-belit seperti sekarang. Upps

Lebih dari itu, sayang juga rasanya bila harus cepat-cepat pindah lokasi mengajar sebelum kita mampu memberikan perubahan yang nyata di tempat kerja. Misalnya aku sendiri yang saat ini sedang mengajar di SD.

Paling tidak, perubahan yang nantinya akan kubawa baru tampak ketika anak-anak sudah tamat sekolah. Di SD ada 6 tingkat, berarti minimal 6 tahun baru terpampang perubahan yang nyata dan dibuktikan dengan kesuksesan para lulusan.

Kecuali memang pemerintahnya yang mau memutasikanku karena ada perihal mendesak. Kalau sudah begitu, ya sudah, silakan pindah. Hahaha

Sudah, cukup, selesai yang urusan pindah-memindah. Sekarang, coba sedikit kita gali keseruan mengajar di pelosok dan di kota.

Mengajar di Pelosok

Murid-muridku di SD. Foto: Ozy V. Alandika.
Murid-muridku di SD. Foto: Ozy V. Alandika.
Apakah mengajar di daerah terpencil dan pelosok itu seru?

Tentu saja, sangat seru malah! Kalau dilihat dari kulit luarnya sekolah, barangkali orang-orang akan berpandangan bahwa mengajar di sekolah pelosok itu kurang seru karena minimnya fasilitas.

Internet hilang-timbul. Listrik ada di sekolah, itu sudah mujur. Fasilitas pembelajaran berbasis teknologi, kurang memadai. Bahkan, akses jalan menuju ke sekolah saja kadang masih ada yang hanya berupa jalan tanah. Saat hujan ia becek, saat kemarau ia berdebu.

Lah, kok sudah begini masih dianggap seru, sih!

Tentu saja seru. Sederhananya seperti di SD tempatku mengajar. Karena terbatasnya sinyal, guru-guru dan staf akan sibuk berkomunikasi satu-sama lain daripada memegang gawainya.

Karena terbatasnya fasilitas pembelajaran, guru-guru yang semangat akan mengajak anak-anak belajar di dekat kebun alias belajar di alam bebas. Metodenya pun tidak kalah kreatif daripada metode pembelajaran berbasis digital.

Dan yang lebih hebatnya lagi menurutku adalah, keramahan dan keaktifan anak-anaknya. Dulu, saat awal-awal aku tiba di SD, setiap siswa selalu berlarian berteriak memanggil-manggil namaku. Mereka bertanya bagaimana perjalananku, bagaimana kabarku, dan menyalamiku.

Guru mana yang tidak tersentuh bila setiap kali mereka mengajar akan diperlakukan seperti itu? Sudah jelas, pasti ada kebanggaan dan kegembiraan tersendiri di hati seorang guru. minimal, guru akan merasa bahwa ia sangat dihargai dan dianggap "ada" oleh siswa.

Meski begitu, keterbatasan tetaplah keterbatasan. Kesenjangan tetaplah kesenjangan. Meski tadi aku sempat menutup mata atas minimnya fasilitas pendukung pembelajaran, tetap saja ada tantangan besar sebagai imbas dari kesenjangan itu.

Misalnya, di saat rekan guru sebelah sibuk memanfaatkan berbagai aplikasi belajar daring berbasis teknologi, aku baru bisa mengaplikasinya sebatas webinar saja. ingin sebenarnya kucoba aplikasikan ke sekolahku. Mungkin beberapa tahun lagi, saat fasilitas telah tersedia.

Inilah tantangannya. Menantang sih, sebenarnya. Tapi, bila lama-lama dibiarkan terus senjang seperti ini, rasanya sangat menghambat. Maka dari itulah, kadang-kadang muncul juga pikiran bahwa seru juga bila kubisa mengajar di kota.

Jadi, Mendingan Mengajar di Kota, Kah?

Mengajar di Kota juga seru. Foto: Ozy V. Alandika.
Mengajar di Kota juga seru. Foto: Ozy V. Alandika.
Mengajar di sekolah yang terletak di kota. Kurasa itu cukup seru. Jangankan mau dikhayalkan lebih jauh. Mendengarkan kata-kata sekolah di kota saja perasaan ini langsung "wow". Bayangan keseruan sudah ada, begitu pula dengan tantangan-tantangannya.

Di kota, akses jalannya mulus seperti jalan tol yang baru diaspal. Fasilitas pendukung pembelajarannya lengkap dan tinggal pakai. Sinyal lancar. Bisa mencoba berbagai tawaran aplikasi belajar kekinian. Dan, guru yang ingin maju akan terus berpacu dengan teknologi.

Lebih dari itu, pandangan masyarakat malah lebih "wah" lagi. Dipandangnya guru itu hebat, guru itu berkualitas lebih hingga mampu menerbitkan lulusan yang unggul. Jadi, nikmat mana lagi yang mau didustakan?

Meski demikian, kurasa tantangan sekolah di kota juga cukup berat. Memang bukan tentang fasilitas, sinyal, serta akses, tapi ini tentang meluruskan pemikiran dan etika anak-anak yang kadang sudah menyebrang batas.

Misalnya tentang pacaran. Kadang, lebih tahu dan lebih berpengalamanlah anak-anak SMP daripada gurunya. Anak-anak mengklaim dirinya lebih tahu karena lebih sering menjelajah dunia digital.

Maka dari itulah guru di kota perlu membatasi, meluruskan, serta memberi pengertian kepada anak-anak tentang penggunaan fasilitas berbasis teknologi. Karena tugas ini berat, maka guru perlu berkolaborasi kepada orangtua mereka.

Jadi, karena sudah sampai sini, kulempar lagi pertanyaannya. Mendingan mengajar di pelosok, atau di kota?

Kalau pertanyaan ini dilemparkan kepadaku, sejatinya aku tak ingin memilih salah satu dan menganggap yang lainnya lebih baik. Kalau bisa, ya, kucoba semuanya, kan?

Beberapa tahun ini, fokus dulu mengajar di sekolah pelosok. Tumbuhkan pemikiran yang berkemajuan, timbulkan perubahan, hadapi tantangan serta lahirkan inovasi.

Nanti, di waktu yang telah ditakdirkan, siapa tahu seorang guru akan diarahkan Tuhan ke sekolah kota. Lagi-lagi perjuangannya masih sama. Fokus mengajar di sana, tumbuhkan pemikiran yang berkemajuan, timbulkan perubahan, hadapi tantangan serta lahirkan inovasi.

Mengapa harus demikian? Soalnya kalau kita terus-terusan membandingkan, kesimpulannya tak akan pernah selesai. Kalau sudah begitu, kapan kita mengajarnya? Upss

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun