Jadi, Mendingan Mengajar di Kota, Kah?
Mengajar di sekolah yang terletak di kota. Kurasa itu cukup seru. Jangankan mau dikhayalkan lebih jauh. Mendengarkan kata-kata sekolah di kota saja perasaan ini langsung "wow". Bayangan keseruan sudah ada, begitu pula dengan tantangan-tantangannya.
Di kota, akses jalannya mulus seperti jalan tol yang baru diaspal. Fasilitas pendukung pembelajarannya lengkap dan tinggal pakai. Sinyal lancar. Bisa mencoba berbagai tawaran aplikasi belajar kekinian. Dan, guru yang ingin maju akan terus berpacu dengan teknologi.
Lebih dari itu, pandangan masyarakat malah lebih "wah" lagi. Dipandangnya guru itu hebat, guru itu berkualitas lebih hingga mampu menerbitkan lulusan yang unggul. Jadi, nikmat mana lagi yang mau didustakan?
Meski demikian, kurasa tantangan sekolah di kota juga cukup berat. Memang bukan tentang fasilitas, sinyal, serta akses, tapi ini tentang meluruskan pemikiran dan etika anak-anak yang kadang sudah menyebrang batas.
Misalnya tentang pacaran. Kadang, lebih tahu dan lebih berpengalamanlah anak-anak SMP daripada gurunya. Anak-anak mengklaim dirinya lebih tahu karena lebih sering menjelajah dunia digital.
Maka dari itulah guru di kota perlu membatasi, meluruskan, serta memberi pengertian kepada anak-anak tentang penggunaan fasilitas berbasis teknologi. Karena tugas ini berat, maka guru perlu berkolaborasi kepada orangtua mereka.
Jadi, karena sudah sampai sini, kulempar lagi pertanyaannya. Mendingan mengajar di pelosok, atau di kota?
Kalau pertanyaan ini dilemparkan kepadaku, sejatinya aku tak ingin memilih salah satu dan menganggap yang lainnya lebih baik. Kalau bisa, ya, kucoba semuanya, kan?
Beberapa tahun ini, fokus dulu mengajar di sekolah pelosok. Tumbuhkan pemikiran yang berkemajuan, timbulkan perubahan, hadapi tantangan serta lahirkan inovasi.
Nanti, di waktu yang telah ditakdirkan, siapa tahu seorang guru akan diarahkan Tuhan ke sekolah kota. Lagi-lagi perjuangannya masih sama. Fokus mengajar di sana, tumbuhkan pemikiran yang berkemajuan, timbulkan perubahan, hadapi tantangan serta lahirkan inovasi.
Mengapa harus demikian? Soalnya kalau kita terus-terusan membandingkan, kesimpulannya tak akan pernah selesai. Kalau sudah begitu, kapan kita mengajarnya? Upss