Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Bagi Guru Sekolah Pelosok, Nikmat Mengajar di Ruang Kelas Itu Belum Tergantikan

16 Juni 2020   20:40 Diperbarui: 17 Juni 2020   10:17 1172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah bukan rahasia lagi bahwasannya guru-guru di bumi Indonesia punya kerinduan yang besar untuk kembali bersekolah dan bertatap muka dengan murid-murid mereka secara langsung.

Terlebih lagi jika guru-guru itu sama seperti saya, yaitu guru yang mengajar di daerah pelosok. Meskipun bangku-bangku ruang kelas tidak terisi penuh karena muridnya cuma sedikit, tetap tidak mengurangi nikmat menggelar pembelajaran secara langsung di ruang kelas.

Mungkin belakangan ini nikmat duduk di ruang kelas itu diambil oleh berbagai aplikasi belajar online, TVRI, dan tugas di rumah. Tapi lihatlah apa yang kemudian terjadi. Anak-anak jadi bosan karena pembelajaran jarak jauh telah merenggut kenikmatan berkumpul mereka.

Bahkan, kebosanan ini diperjelas dengan hasil belajar yang tidak efektif. Buktinya? Saya punya teman seorang wakil kurikulum sekaligus guru yang mengajar di salah satu SMK terpadu di daerah Lebong.

Sekolahnya cukup pelosok tapi karena ketersediaan sinyal akhirnya pembelajaran dilakukan secara daring.

Namun, dua minggu lalu saat sekolah menggelar ujian semester menggunakan google form, beliau cukup kesusahan menghadapi siswa yang tidak mau mengerjakan ujian. Soal sudah dikirim ke grup Whatsapp siswa, tapi hanya sebagian kecil mereka yang mau mengerjakan.

Bagaimana coba, jika banyak sekolah yang menghadapi kasus seperti ini. Apa perlu muridnya diancam tidak naik kelas? Tidak perlu sampai begitu, kan? Tapi beginilah kenyataannya.

Coba saja waktu itu belajar dan ujian digelar secara tatap muka. Dijamin seluruh siswa akan hadir dan ujian pun terselesaikan. Nyatanya untuk akrab dengan dunia digital sebagian sekolah masih butuh waktu untuk meraba-raba pendekatan yang pas untuk belajar.

Beda halnya jika pembelajaran jarak jauh diterapkan pada daerah yang sudah terbiasa dengan aplikasi digital. Mungkin bagi mereka di sana, aplikasi digital adalah makanan sehari-hari baik oleh para murid maupun orang tuanya. Jadi, bisa lebih cepat beradaptasi.

Kebetulan pada tanggal 15 Juni 2020 kemarin dirilis panduan alias pedoman penyelenggaraan pembelajaran tahun ajaran baru 2020/2021 dengan tajuk SKB 4 Menteri, berarti mulai ada kejelasan terkait bagaimana sistem pembelajaran di era Covid-19 ini.

Salah satu kejelasan itu adalah, pembelajaran di tahun ajaran baru akan diterapkan dengan 2 pola umum berdasarkan zona penyebaran Covid-19.

Bagi daerah dengan keterangan zona hijau, punya kesempatan untuk belajar secara tatap muka. Sedangkan bagi daerah zona kuning, orange, dan merah hanya menggelar pembelajaran dari rumah.

Persentasenya, 6 persen peserta didik berada di zona hijau, dan 94 persen berada zona kuning, orange, serta merah. Dari persentase ini, berarti hanya 6 persen saja siswa yang bisa merasakan nikmatnya belajar di ruang kelas, kan?

Itu pun jika sekolah mampu melewati berbagai proses ruwet terkait pengambilan keputusan dimulainya pembelajaran secara tatap muka. Jika tidak? Ya, sudah. Solusi saat ini barulah tentang pembelajaran via aplikasi digital, TVRI, RRI, hingga penugasan.

Nikmat Mengajar di Ruang Kelas Belum Mampu Tergantikan!
Tidak terpungkiri bahwa kegiatan mengajar di ruang kelas adalah nikmat terbesar bagi seorang guru. Para siswa juga demikian, ratusan keluh yang sempat singgah di meja KPAI beberapa bulan lalu seakan menjadi penegas bahwa sejatinya mereka lebih suka belajar tatap muka.

Apalagi bagi para siswa yang bersekolah di daerah pelosok. Jika mereka tak sekolah secara tatap muka, mungkin sudah diajak oleh orangtuanya menginap di ladang. Mau belajar via daring, sinyal di desa belum ada dan bahkan orangtuanya tak punya handphone. Mana bisa!

Jadi sudah bukan rahasia lagi bahwasannya guru sekolah pelosok lebih suka mengajar di ruang kelas secara tatap muka.

Salah satu buktinya adalah, akhir-akhir ini saya begitu sering nge-like postingan facebook rekan-rekan guru bersama muridnya dengan keterangan "corona pergilah, kami rindu ke sekolah!"

Di kelas, para guru bisa menata karakter siswa-siswinya, menjalin komunikasi keilmuan secara timbal baik dan aktif, serta bisa juga menebar canda-guyon sebagai penumbuh suasana belajar yang menyenangkan.

Biarpun siswa-siswinya sering lupa buat tugas rumah, kurang rapi, tapi selagi mereka datang ke sekolah, itu sudah cukup membuat guru-guru bangga.

Bukannya kami selaku guru benci dan tak mau pakai teknologi, tapi kondisi dan situasinya menyebabkan ketidakmampuan. Jadi, kalau selama ini ada pengamat pendidikan yang terus berkoar-koar untuk mewujudkan digitalisasi pendidikan, mohon maaf. Kami masih lambat.

Bagi kami guru sekolah pelosok, hadirnya corona ini seperti pedang yang mengibas lahan ajar hingga terbelah dua.

Belahan lahan sebelah sana punya kuasa untuk menjalankan berbagai tawaran Mas Nadiem dan aplikasi-aplikasi teknologi termutakhir. Tapi belahan lahan sebelah sini? Masih sibuk mengurusi dan memberikan motivasi kepada siswa agar tetap bersekolah.

Dari sini, rasanya lama-kelamaan kenyataan pendidikan di negeri ini mulai bermerek "tidak adil" bagi sekolah-sekolah 3T. Namanya Merdeka Belajar, tapi Merdekanya hanya untuk sekolah-sekolah yang punya fasilitas.

Di saat guru-guru sekolah pelosok masih betah dengan kenikmatan mengajar di kelas secara tatap muka, guru-guru di sekolah lain sudah asyik mengajar dan akrab dengan IT. Jadi, jangan salah bila hari demi hari kecemburuan terhadap fasilitas pendidikan akan tetap ada.

Nikmat mengajar di ruang kelas dicampur dengan kecemburuan terhadap fasilitas pendidikan yang sudah mengarah kepada digitalisasi, rasanya cukup cocok untuk dijadikan pembahasan utama di meja Mas Nadiem.

Ada 94 persen peserta didik yang nantinya tetap belajar dari rumah. Pertanyaannya, akankah nikmat belajar dari rumah sama dengan nikmat belajar di kelas? Awas, pemerintah jangan lengah dengan angka 6 persen zona hijau semata.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun