Beberapa hari ini agaknya hati para guru di seluruh penjuru bumi Pertiwi cukup masygul, imbas dari tabokan tajam sang pengamat dan praktisi pendidikan Indra Charismiadji.
Pak pengamat yang sekaligus menjabat sebagai Direktur Eksekutif Center for Education Regulations and Development Analysis (CERDAS) ini sempat menuangkan kritikan bahwa guru di Indonesia antikritik, maunya gaji besar, dan kualitasnya rendah.
Menurutnya, 3 hal inilah yang mengakibatkan pendidikan tanah air tak kunjung maju alias jalan di tempat. Ranking PISA (Programme for International Student Assessment) Indonesia yang berdiri di urutan 2 terbawah adalah bukti.
Sejatinya sebagai seorang pengamat dan praktisi pendidikan, boleh-boleh saja Pak Indra mengkritik secara pedas tentang kualitas para guru.
Entah itu berdasarkan gelaran pembelajaran daring di tengah pandemi, data PISA, ataupun data keluhan siswa dan orangtua dari KPAI sebenarnya sah-sah saja. Apalagi soal teknologi pendidikan, jangankan para guru, Mas Nadiem pun mengakui kesusahan implementasinya.
Tapi kalau tolok ukurnya adalah kemajuan pendidikan secara umum, agaknya sebutan antikritik, mau gaji besar dan kualitas rendah terhadap guru rasanya kurang "elegan" alias kurang elok.
Terang saja, naik maupun stagnannya kualitas pendidikan yang tertuang dalam angka-angka PISA tidak melulu gara-gara guru. Secara, yang diukur oleh PISA adalah kemampuan anak negeri di bidang literasi, matematika, serta sains.
Pengukuran PISA bertujuan untuk mengevaluasi sistem pendidikan dengan mengukur kinerja siswa di pendidikan menengah, terutama pada tiga bidang utama yang disebutkan tadi. Jadi, yang dievaluasi adalah sistem pendidikan dan yang dinilai adalah siswa.
Karena sudah ketahuan rendah, barulah kemudian pemerintah bisa mengevaluasi komponen-komponen dari sistem pendidikan.
Darinya terucaplah guru, kurikulum, peserta didik, sarana dan prasarana, anggaran, lingkungan pendidikan, hingga tujuan pendidikan itu sendiri. Barulah kemudian fungsi dan peran masing-masing komponen ini yang menentukan maju atau stagnannya kualitas pendidikan.
Bahkan, karena susahnya mendongkrak nilai PISA, Rektor Universitas Yarsi, Prof. Fasli Djalal  mengatakan bahwa untuk PISA di bidang matematika dan sains, Indonesia membutuhkan waktu sekitar 90 tahun untuk menyamai perolehan Singapura saat ini. Sedangkan untuk bidang bahasa, butuh waktu 60 tahun.