Jika didasarkan kepada data lama alias guru-guru senior yang mengajar di sekolah pelosok, agak wajar kiranya bila kualitas mereka diragukan dari segi pemanfaatan teknologi pendidikan.
Namun, kewajaran ini tidak bisa dipandang dari sisi mereka saja. Bukan mereka tak ingin maju, tapi fasilitas dan kemampuan daerahnya yang tak mendukung. Jadi, gagal validlah datanya.
Wajar pula bila kemudian Ketua PB PGRI Dudung Koswara balik bertanya, benarkah semua guru demikian? Benarkah guru maunya gaji besar? Benarkah kualitas guru rendah? Pernyataan Pak pengamat terkesan tidak elok dan sudah menyakiti hati banyak guru.
"Menurut saya apa yang diungkapkan Indra Charismiadji tidak 100 persen benar. Malah bisa jadi 100 persen menyakiti perasaan para guru. Indra sebagai pengamat pendidikan sepertinya tidak efektif menyasar entitas guru. Menyimpulkan guru antikritik, maunya gaji besar dan kualitasnya rendah bagai memukul nyamuk yang ada di pipi bayi dengan pentungan," Ungkap Pak Dudung (13/05/2020).
Sebagai guru, saya pun mendukung pembelaan yang diutarakan oleh Pak Dudung. Bukannya mau teriak sekaligus menerangkan bahwa guru adalah pihak "mahabenar" yang tak mau tersalah, tapi berdasarkan pengalaman yang saya temui di lapangan, para guru selalu berjuang.
Misalnya salah satu guru senior yang menjadi rekan kerja sekaligus panutan saya saat mengajar sebagai guru honorer di salah satu SMP rujukan di Curup. Sebut saja namanya Bu X. Beliau sebelumnya kurang ramah dengan teknologi pendidikan.
Tapi, karena SMP sudah beralih ke e-rapor dan penggunaan beberapa aplikasi digital lainnya, mau tidak mau Bu X harus belajar dan belajar lagi. Padahal umurnya sudah 50-an tahun, tapi ternyata beliau masih mau belajar dan bertanya kepada saya maupun teknisi digital.
Apakah kualitas Bu X sebagai guru bisa dinilai rendah? Jahat sekali jikalau guru-guru yang selalu berjuang tanpa kenal umur seperti ini dicap antikritik, berkualitas rendah, atau bahkan maunya gaji besar saja.
Ini hanyalah salah satu contoh nyata, masih banyak guru-guru lain yang pernah saya temui di lapangan, dan mereka bukanlah sosok guru yang betah dengan kualitas "model lama." Saya pun yakin, di luar sana masih banyak guru-guru yang hebat. Sejatinya mereka butuh apresiasi.
Apa lagi dengan guru-guru baru hari ini. Tak perlu harus membeda-bedakan status PNS maupun honorer, setiap guru yang mengajar berdasarkan panggilan jiwa pasti ingin terus memperbaiki kualitas keilmuan, adab dan juga karakternya.
Kalaupun banyak guru yang berkoar menuntut kesejahteraan, cukup logis kiranya. Lihatnya guru-guru honorer, berapa gajinya. Lihatlah PPPK, bagaimana sedihnya mereka karena masa depan karir yang masih fatamorgana. Belum lagi sekarang ada pandemi, makin sedihlah kita.