Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Duhai Pak Pengamat Pendidikan, Kritikan Anda terhadap Guru Kurang Elegan

13 Mei 2020   22:20 Diperbarui: 14 Mei 2020   19:02 3114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dari okezone.com

Beberapa hari ini agaknya hati para guru di seluruh penjuru bumi Pertiwi cukup masygul, imbas dari tabokan tajam sang pengamat dan praktisi pendidikan Indra Charismiadji.

Pak pengamat yang sekaligus menjabat sebagai Direktur Eksekutif Center for Education Regulations and Development Analysis (CERDAS) ini sempat menuangkan kritikan bahwa guru di Indonesia antikritik, maunya gaji besar, dan kualitasnya rendah.

Menurutnya, 3 hal inilah yang mengakibatkan pendidikan tanah air tak kunjung maju alias jalan di tempat. Ranking PISA (Programme for International Student Assessment) Indonesia yang berdiri di urutan 2 terbawah adalah bukti.

Sejatinya sebagai seorang pengamat dan praktisi pendidikan, boleh-boleh saja Pak Indra mengkritik secara pedas tentang kualitas para guru.

Entah itu berdasarkan gelaran pembelajaran daring di tengah pandemi, data PISA, ataupun data keluhan siswa dan orangtua dari KPAI sebenarnya sah-sah saja. Apalagi soal teknologi pendidikan, jangankan para guru, Mas Nadiem pun mengakui kesusahan implementasinya.

Tapi kalau tolok ukurnya adalah kemajuan pendidikan secara umum, agaknya sebutan antikritik, mau gaji besar dan kualitas rendah terhadap guru rasanya kurang "elegan" alias kurang elok.

Terang saja, naik maupun stagnannya kualitas pendidikan yang tertuang dalam angka-angka PISA tidak melulu gara-gara guru. Secara, yang diukur oleh PISA adalah kemampuan anak negeri di bidang literasi, matematika, serta sains.

Pengukuran PISA bertujuan untuk mengevaluasi sistem pendidikan dengan mengukur kinerja siswa di pendidikan menengah, terutama pada tiga bidang utama yang disebutkan tadi. Jadi, yang dievaluasi adalah sistem pendidikan dan yang dinilai adalah siswa.

Karena sudah ketahuan rendah, barulah kemudian pemerintah bisa mengevaluasi komponen-komponen dari sistem pendidikan.

Darinya terucaplah guru, kurikulum, peserta didik, sarana dan prasarana, anggaran, lingkungan pendidikan, hingga tujuan pendidikan itu sendiri. Barulah kemudian fungsi dan peran masing-masing komponen ini yang menentukan maju atau stagnannya kualitas pendidikan.

Bahkan, karena susahnya mendongkrak nilai PISA, Rektor Universitas Yarsi, Prof. Fasli Djalal  mengatakan bahwa untuk PISA di bidang matematika dan sains, Indonesia membutuhkan waktu sekitar 90 tahun untuk menyamai perolehan Singapura saat ini. Sedangkan untuk bidang bahasa, butuh waktu 60 tahun.

Bisa dibayangkan jauhnya kualitas pendidikan kita walau hanya dibandingkan dengan negara tetangga.

Lalu, jika kualitas pendidikan kita sudah diakui mandek, apakah kemudian hanya guru yang disorot dan dicap antikrik, maunya gaji besar, bahkan kualitasnya yang rendah?

Hal inilah yang kemudian membuat hati guru seakan ditampar oleh kritikan Pak Indra. Guru sudah dan selalu berjuang untuk mencerdaskan generasi penerus bangsa dengan sarana dan prasana seadanya, tapi semudah itu mengumbar sindiran tajam yang kurang elok.

Memang, sebagai tokoh pendidikan Indonesia dengan spesialisasi pada Pembelajaran Abad 21 tugas Pak Indra adalah menyoroti teknologi pendidikan dan pengembangan profesi guru, tapi apakah tidak terlalu berlebihan menyandingkan stagnasi pendidikan dengan guru?

Terlebih lagi sampai menyebut guru antrikritik, maunya gaji besar, dan kualitasnya rendah tanpa menjabarkan berapa persen guru-guru yang sedemikian rupa.

Terang saja, jika disebutkan kata "guru" maka semua penduduk bumi Indonesia yang berprofesi sebagai guru akan membalas sahutan. Ada sama rasa, sama asa, dan sama perjuangan yang selalu dikoarkan walau berada di jauh di sudut negeri.

Masih belum selesai, Pak Indra menyebutkan bahwa yang paling menyedihkan dari situasi ini, ternyata para pendidik di Indonesia sangat anti-kritik. Beliau mengibaratkan para tenaga pendidik seperti pemain sepak bola.

Kalau pemainnya bagus, ada gol yang akan tercipta. Tapi kalau pemainnya asal-asalan, yang ada malah gawangnya kebobolan terus.

"Saya tidak akan berhenti menjadi komentator sepak bola jika mereka (tenaga pendidik) mampu bermain sepak bola dengan baik," ujarnya mengumpamakan.

Nyatanya, jangankan hanya sisi buruk, sisi mulianya guru pun tidak pernah lepas dari kritikan. Contohnya saja seperti guru yang rela datang ke rumah siswa hanya demi menyalurkan ilmu di tengah pandemi. Apakah sudah ada apresiasi dari Pak pengamat?

Padahal sebenarnya tindakan guru yang seperti itu merupakan salah satu bentuk sindiran tajam kepada para pengamat yang berfokus pada pemberdayaan teknologi pendidikan. Bagaimana caranya mewujudkan penyaluran internet di desa-desa, rasanya itu yang perlu diperjuangkan.

Antikritik, Maunya Gaji Besar, dan Kualitasnya Rendah, "Ini Guru yang Mana, Pak?"

Secara pribadi, sebagai seorang guru saya cukup percaya bahwa apa yang disampaikan oleh seorang pengamat pendidikan selalu berlandaskan dengan data. Jika tidak, sudah pasti reputasi dan sepak terjangnya di hari kemudian akan diragukan.

Hanya saja, cap antikritik, maunya gaji besar serta kualitas rendah yang direkatkan pada guru berasa terlalu memberatkan dan sepihak. Maka dari itulah perlu ditanyakan, data guru yang demikian diambil dari mana, dan pernyataan kualitas guru rendah itu berdasarkan apa saja.

Jika didasarkan kepada data lama alias guru-guru senior yang mengajar di sekolah pelosok, agak wajar kiranya bila kualitas mereka diragukan dari segi pemanfaatan teknologi pendidikan.

Namun, kewajaran ini tidak bisa dipandang dari sisi mereka saja. Bukan mereka tak ingin maju, tapi fasilitas dan kemampuan daerahnya yang tak mendukung. Jadi, gagal validlah datanya.

Wajar pula bila kemudian Ketua PB PGRI Dudung Koswara balik bertanya, benarkah semua guru demikian? Benarkah guru maunya gaji besar? Benarkah kualitas guru rendah? Pernyataan Pak pengamat terkesan tidak elok dan sudah menyakiti hati banyak guru.

"Menurut saya apa yang diungkapkan Indra Charismiadji tidak 100 persen benar. Malah bisa jadi 100 persen menyakiti perasaan para guru. Indra sebagai pengamat pendidikan sepertinya tidak efektif menyasar entitas guru. Menyimpulkan guru antikritik, maunya gaji besar dan kualitasnya rendah bagai memukul nyamuk yang ada di pipi bayi dengan pentungan," Ungkap Pak Dudung (13/05/2020).

Sebagai guru, saya pun mendukung pembelaan yang diutarakan oleh Pak Dudung. Bukannya mau teriak sekaligus menerangkan bahwa guru adalah pihak "mahabenar" yang tak mau tersalah, tapi berdasarkan pengalaman yang saya temui di lapangan, para guru selalu berjuang.

Gambar dari okezone.com
Gambar dari okezone.com

Misalnya salah satu guru senior yang menjadi rekan kerja sekaligus panutan saya saat mengajar sebagai guru honorer di salah satu SMP rujukan di Curup. Sebut saja namanya Bu X. Beliau sebelumnya kurang ramah dengan teknologi pendidikan.

Tapi, karena SMP sudah beralih ke e-rapor dan penggunaan beberapa aplikasi digital lainnya, mau tidak mau Bu X harus belajar dan belajar lagi. Padahal umurnya sudah 50-an tahun, tapi ternyata beliau masih mau belajar dan bertanya kepada saya maupun teknisi digital.

Apakah kualitas Bu X sebagai guru bisa dinilai rendah? Jahat sekali jikalau guru-guru yang selalu berjuang tanpa kenal umur seperti ini dicap antikritik, berkualitas rendah, atau bahkan maunya gaji besar saja.

Ini hanyalah salah satu contoh nyata, masih banyak guru-guru lain yang pernah saya temui di lapangan, dan mereka bukanlah sosok guru yang betah dengan kualitas "model lama." Saya pun yakin, di luar sana masih banyak guru-guru yang hebat. Sejatinya mereka butuh apresiasi.

Apa lagi dengan guru-guru baru hari ini. Tak perlu harus membeda-bedakan status PNS maupun honorer, setiap guru yang mengajar berdasarkan panggilan jiwa pasti ingin terus memperbaiki kualitas keilmuan, adab dan juga karakternya.

Kalaupun banyak guru yang berkoar menuntut kesejahteraan, cukup logis kiranya. Lihatnya guru-guru honorer, berapa gajinya. Lihatlah PPPK, bagaimana sedihnya mereka karena masa depan karir yang masih fatamorgana. Belum lagi sekarang ada pandemi, makin sedihlah kita.

Terakhir, agaknya Pak pengamat perlu meminta maaf serta menjelaskan lagi kriteria guru seperti apa yang ia maksudkan dalam kritikan.

Kritikan yang baik disertai saran pasti akan guru terima, apalagi untuk menciptakan SDM unggul. Semua guru bisa diajak bekerja sama. Jadi, sesekali apresiasilah kinerja dan perjuangan guru di bumi Indonesia ini.

Salam dan semoga sehat selalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun