Bisa dibayangkan jauhnya kualitas pendidikan kita walau hanya dibandingkan dengan negara tetangga.
Lalu, jika kualitas pendidikan kita sudah diakui mandek, apakah kemudian hanya guru yang disorot dan dicap antikrik, maunya gaji besar, bahkan kualitasnya yang rendah?
Hal inilah yang kemudian membuat hati guru seakan ditampar oleh kritikan Pak Indra. Guru sudah dan selalu berjuang untuk mencerdaskan generasi penerus bangsa dengan sarana dan prasana seadanya, tapi semudah itu mengumbar sindiran tajam yang kurang elok.
Memang, sebagai tokoh pendidikan Indonesia dengan spesialisasi pada Pembelajaran Abad 21 tugas Pak Indra adalah menyoroti teknologi pendidikan dan pengembangan profesi guru, tapi apakah tidak terlalu berlebihan menyandingkan stagnasi pendidikan dengan guru?
Terlebih lagi sampai menyebut guru antrikritik, maunya gaji besar, dan kualitasnya rendah tanpa menjabarkan berapa persen guru-guru yang sedemikian rupa.
Terang saja, jika disebutkan kata "guru" maka semua penduduk bumi Indonesia yang berprofesi sebagai guru akan membalas sahutan. Ada sama rasa, sama asa, dan sama perjuangan yang selalu dikoarkan walau berada di jauh di sudut negeri.
Masih belum selesai, Pak Indra menyebutkan bahwa yang paling menyedihkan dari situasi ini, ternyata para pendidik di Indonesia sangat anti-kritik. Beliau mengibaratkan para tenaga pendidik seperti pemain sepak bola.
Kalau pemainnya bagus, ada gol yang akan tercipta. Tapi kalau pemainnya asal-asalan, yang ada malah gawangnya kebobolan terus.
"Saya tidak akan berhenti menjadi komentator sepak bola jika mereka (tenaga pendidik) mampu bermain sepak bola dengan baik," ujarnya mengumpamakan.
Nyatanya, jangankan hanya sisi buruk, sisi mulianya guru pun tidak pernah lepas dari kritikan. Contohnya saja seperti guru yang rela datang ke rumah siswa hanya demi menyalurkan ilmu di tengah pandemi. Apakah sudah ada apresiasi dari Pak pengamat?
Padahal sebenarnya tindakan guru yang seperti itu merupakan salah satu bentuk sindiran tajam kepada para pengamat yang berfokus pada pemberdayaan teknologi pendidikan. Bagaimana caranya mewujudkan penyaluran internet di desa-desa, rasanya itu yang perlu diperjuangkan.
Antikritik, Maunya Gaji Besar, dan Kualitasnya Rendah, "Ini Guru yang Mana, Pak?"
Secara pribadi, sebagai seorang guru saya cukup percaya bahwa apa yang disampaikan oleh seorang pengamat pendidikan selalu berlandaskan dengan data. Jika tidak, sudah pasti reputasi dan sepak terjangnya di hari kemudian akan diragukan.
Hanya saja, cap antikritik, maunya gaji besar serta kualitas rendah yang direkatkan pada guru berasa terlalu memberatkan dan sepihak. Maka dari itulah perlu ditanyakan, data guru yang demikian diambil dari mana, dan pernyataan kualitas guru rendah itu berdasarkan apa saja.