"Bulan penuh kemuliaan yang berada pada situasi tak terduga," kiranya ungkapan ini cukup cocok direkatkan pada bulan ramadan tahun ini. Dibandingkan dengan tahun lalu, situasinya tak disangka, kondisinya tak terduga, dan kita menjalaninya dengan dinamika.
Gara-gara Covid-19, lahirlah semangat yang ditumpuk dan ditinggikan demi meredupkan kebosanan, muncullah gerakan bersama untuk berbagi, serta terbitlah perubahan tata perilaku agar tetap sehat.
Namun, lahirnya benih-benih adaptasi kehidupan di tengah wabah tidak selalu menyenangkan. Ibaratkan fenomena evolusi kehidupan, jika ada yang lahir, pasti ada pula yang mati, biarpun itu hanya sesaat.
Demikian pula kiranya dengan bulan ramadan tahun ini. Imbas dari pandemi, lahirlah tata kehidupan yang baru sebagai buah dari adaptasi. Tapi, cerita ramadan tahun lalu malah mati untuk sementara waktu.
Kegiatan buka bersama, tunda. Ibadah Tarawih berjamaah di masjid, tunda. Wisata sore hari dan berkumpul bersama teman-teman, tunda. Bahkan, sebagian pekerja pun harus dimatikan sementara pekerjaan tetapnya karena menerima surat duka yang bertuliskan "PHK."
Kedengarannya memang serba susah, apalagi mereka yang langsung mengalaminya! Bedanya, kesusahan yang kita alami tidaklah sama dengan kesusahan yang diperjuangkan oleh orang lain. Lain pekerjaan, lain beban. Beda status, beda pula tanggungan.
Sama halnya dengan orang lain maupun para pembaca di manapun Anda berada, saya bersama keluarga juga sedang kesusahan. Ada hal rumit menyangkut kehidupan yang harus kami perjuangkan, dan keringat juang ini lebih besar dibandingkan dengan ramadan tahun lalu.
Gula Aren Sedang "Merajuk"
Ya, di ramadan tahun ini pekerjaan utama keluarga saya sebagai petani gula aren yang berlokasi di desa Air Meles Atas, Curup, Bengkulu sedang macet alias terhambat.