Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tantangan Orangtua di Rumah: Mengajar Anak Sendiri, Kok Jadi Ruwet Ya?

14 April 2020   22:16 Diperbarui: 14 April 2020   22:40 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belajar dari rumah, rasanya sudah banyak siswa yang dihantui kebosanan. Sekilas berdiam di rumah memang enak, tapi jika kelamaan pasti akan suntuk, jemu dan tidak suka lagi. Tidak hanya siswa, orang dewasa bahkan orangtua juga demikian.

Secara, kegiatan di rumah jarang ada "efek kejut" yang membuat penduduk di dalamnya menghadapi suatu keunikan. Yang ada hanyalah kebiasaan perilaku yang terus berulang dengan urutan yang sama.

Bangun pagi, sarapan, belajar atau bekerja, makan siang, tidur siang dan tiba-tiba hari sudah malam. Berhari-hari aktivitas hanya itu-itu saja sehingga tidak salah jika ada anak yang mengutak-atik jadwal hariannya.

Yang biasanya bangun pagi, karena program belajar di TVRI mulainya agak siang, ia akan bangun jelang siang.

Aktivitas belajar juga demikian, andai orangtua tidak mendampingi anaknya belajar di rumah, bisa-bisa televisi atau buku yang menonton anak main game, bukan anak yang berhenti main game dan mulai belajar via TVRI.

Cukup wajar, kan? Agaknya demikian, anak-anak hanya ingin "melarikan diri" dari kejemuan. Mereka pasti rindu akan sekolah, rindu bertemu teman-teman, rindu jajan di kantin sekolah, bahkan rindu diajar langsung oleh guru secara tatap muka.

Saya cukup yakin bahwa kerinduan ini adalah tuah dari kebosanan. Jangankan anak, kakek dan nenek yang minim aktivitas saja mau bersusah-payah mencabut rumput di halaman rumah!

Maka dari itulah, selama anak-anak belajar dari rumah orangtua perlu hadir langsung dan menemani, serta memacu semangat anak agar ia mau belajar.

Tapi, tantangan orangtua di rumah bukanlah hal yang mudah. Andai bisa kita sandingkan levelnya menurut game, maka orangtua yang mendidik anak di rumah sedang berjuang di level pro dengan sistem battle.

Cukup berat, kan? Tentu saja, jika mudah maka seluruh game online yang ada di Playstore jadi tidak laku. Para gamers jadi tidak semangat main game karena tantangannya terlalu mudah.

Lalu, mampukah orangtua?

Atau, keberatankah mereka?

Semoga saja semangat untuk mencetak generasi bangsa yang mulia tetap tertanam di hati para orangtua, sehingga mereka terus berusaha dan mampu mengemban tanggung jawab sebagai guru di rumah.

Mendidik Anak Sendiri, Kok Jadi Ruwet, Ya?

Karena pandemi Covid-19, mau tidak mau tanggung jawab guru dalam mendidik anak dibagi-fokuskan sementara kepada para orangtua, setidaknya hingga bulan Juli 2020 ke depan.

Tapi, kalau Covid-19 berakhir lusa, maka orangtua bisa segera menitipkan kembali anaknya kepada guru. Maka dari itu, mari berdoa, berusaha, dan sukseskan program pemerintah untuk memberantas Covid-19.

Berdoa selesai, berusaha sedang dikerjakan, program pemerintah sudah disukseskan. Sekaranglah saatnya orangtua kembali didik anak-anaknya.

Tapi lagi-lagi mendidik anak bukanlah perkara yang mudah bagi orangtua di rumah. Selain bosan, tantangan terbesarnya adalah lebih mudah mendidik anak orang lain daripada anak sendiri. Duh, kok mendidik anak sendiri jadi ruwet, ya?

Andai anak itu adalah anak orang lain, maka ia akan lebih disiplin, lebih segan dan cenderung patuh kepada guru. Biarpun seorang anak terbilang nakal, pasti ada masa-masa di mana ia akan menurut pada perkataan guru.

Tapi jika kepada orangtua? Jujur saja, orangtua adalah lahan bagi seorang anak untuk menanamkan dan menumbuhkan sifat kemanjaan. Kepada siapa lagi mereka mau bermanja, jika bukan kepada ayah dan ibu di rumah.

Tidak semata-mata manja itu salah, sih. Dengan memulai sesuatu secara manja, anak akan mengikuti kemauan dan aturan orangtua. Anak mesti diberi hati dahulu, agar ucapan orangtua mampu turun ke hatinya. Tapi, jika sifat manja berkolaborasi dengan bosan, jadi lengkap, kan?

Tadi, setelah selesai menulis tepatnya pukul 10.10 pagi saya lewat ke ruang keluarga. Saya lihat, saya amati dan saya pelototi ternyata siaran televisi sudah disetel channel TVRI oleh ibu saya.

Meski begitu, saya heran karena yang menontonnya bukan adik melainkan kursi kosong. Pertanyaannya, ke mana adik saya? Ternyata, ia masih betah berdiam di kamar. Padahal di jam itu TVRI sedang menyiarkan materi Peluang dan Frekuensi Harapan.

Sontak saja, saya segera mengetuk kamar sang adik dan memintanya untuk segera memperhatikan televisi, 15 menit cukup, lah. Jam berapa saya ketuk, jam berapa pula ia keluar. Saya lihat jam, sudah menunjukkan pukul 10.25. berarti sudah mau habis sajian materinya.

Tulisannya kecil, atau TV kami yang kurang besar, ya? Dok. Ozy V. Alandika
Tulisannya kecil, atau TV kami yang kurang besar, ya? Dok. Ozy V. Alandika

Adik saya tampaknya cukup enggan untuk menyaksikan pembelajaran TVRI, selain hanya berisikan komunikasi satu arah, sajian tulisan soal di TVRI cenderung kecil-kecil hingga memerihkan mata.

Esok hari dan lusa, agaknya ini adalah tantangan bagi saya dan ibu di rumah untuk menyemangi sang adik. Awalnya saya sempat mengira, "jangan-jangan karena adik saya bungsu, hingga dia cepat bosan dan mau bergerak jika sudah berkali-kali dibujuk!"

Tapi, jika dikira kemudian tampaknya itu hanyalah persepsi yang berlandaskan emosi semata. Hari-hari berikutnya, saya mesti lebih kreatif dan melahirkan hal-hal unik di rumah untuk membangkitkan gairah adik untuk belajar.

Sebenarnya, kreativitas dan semangat belajar ini akan lebih mudah jika saya lakukan di sekolah, kepada murid-murid.

Tapi, lagi-lagi sekarang program belajar dimulai dari rumah sehingga tidak hanya semangat belajar yang digaungkan, melainkan juga membuang kebosanan.

Walaupun sebagai abang di rumah, rasanya saja juga harus memerankan guru layaknya saat mengajar di sekolah. Saat ini, kita semua mengambil peran sebagai guru di rumah.

Kiranya, situasi dan kondisi ini juga dialami oleh orangtua di belahan daerah lain.

Akhirnya, saya cukup tertarik dan tergugah dengan tulisan Donna Ferguson di situs The Guardian. Sosok jurnalis peraih banyak penghargaan di tanah Inggris ini menuliskan artikel tentang nasihat darurat sekolah di rumah yang dikumpulkan dari opini guru-guru ahli di Inggris.

Yang membuatnya menarik adalah, Guru-guru di Inggris menyarankan agar orangtua di rumah membiarkan anak-anak mereka bosan dengan rutinitas belajar. Selain itu, kebahagiaan dan jaminan cinta dijadikan sebagai nasihat prioritas.

Sebagai tambahan, orangtua di rumah sebaiknya mempertahankan rutinitas belajar anak, memberikannya otonomi, beri perhatian, puji perilaku baiknya, batasi penggunaan Smartphone, dan terpenting belajarlah dengan menyenangkan.

Sejatinya, perilaku kebosanan yang dimunculkan anak merupakan sesuatu yang wajar. Maka darinya perlu disadari bahwa anak bukanlah mesin belajar. Mereka juga butuh istirahat, butuh dongkrak semangat, serta kasih sayang seutuhnya.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun