"Nah, yang masih muda duluan, gih. Kan, anak muda lebih lincah!"
Kalimat ini rasanya sangat ringan diucapkan oleh guru-guru senior di muka bumi. Mungkin, jika ditimbang tidak sampai satu ons. Tapi, jika sudah terdengar oleh seorang guru muda, beratnya malah jadi satu kilogram. Tidak terlalu berat, tapi bikin pegal hati.
Bagaimana tidak, kepercayaan tinggi yang diberikan kepada seorang guru muda di suatu sekolah seakan menjadi benturan antara dua kepentingan.
Pertama, eksistensi sekaligus pengembangan karier seorang guru muda, dan kedua, menjaga kepercayaan sekaligus menata hati untuk menjadi sosok guru yang tulus.
Lebih dari itu, saat seorang guru muda berada di garda terdepan perjuangan, saat itu juga ia telah memanjat pintu gerbang pengembangan karier. Jika tugas yang dilaksanakan sesuai bahkan lebih dari harapan, maka guru senior akan percaya sepenuhnya dan sang guru muda tadi akan mendapat banyak relasi.
Walau demikian, seiring dengan perjalanan karier seorang guru muda di sekolah tetap saja ada hal-hal eksentrik yang cukup mengesalkan dan bikin pegal hati. Berikut penulis sajikan sedikit kekesalannya.
Oleh Siswa Dianggap Kakak Kelas, Oleh Pejabat Dianggap Murid
Bagi seorang guru muda yang baru saja diterima kerja di sekolah, biasanya usia mereka tidak jauh beda dengan murid-muridnya, terutama murid SMP dan SMA.
Anggaplah seorang guru tadi tamat kuliah di umur 22-23 tahun, kemudian langsung dapat rezeki diterima kerja sebagai guru honorer di SMA. Berarti, jarak umur guru dengan muridnya hanya sekitar 4-5 tahun saja. Secara, rata-rata usia anak SMA adalah 15-18 tahun.
Dari sini, cukup lumrah kiranya jika kita temui mahasiswa yang praktik mengajar di SMA sering dirundungi, bahkan sampai menangis karena tak sepenuhnya sanggup menghadapi tekanan para murid.
Yang lebih "ganas" lagi, beberapa guru muda sampai sanggup memacari muridnya di SMA. Ini sering ditemui di sekolah-sekolah, walaupun jarang viral.
Dan, yang lebih dari sekadar "ganas" adalah tentang guru muda yang viral karena menikahi murid SMP sendiri setelah 7 tahun pacaran. Cukup nyentrik memang, tapi apa mau dikata, kalau sudah jalur jodohnya tak mengapa, kan?
Kembali ke rentang umur tadi, kadang-kadang karena jarak umur yang cukup dekat dan penampilan wajah yang masih terbilang muda, seorang guru bisa dianggap kakak kelas.
Fenomena ini pernah saya alami dua tahun yang lalu saat mengabdi di SMP sebagai guru honorer. Waktu itu, selain mendapatkan jam mengajar saya juga dipercayai untuk membina ekstrakulikuler keagamaan.
"Petaka" pegal hati ini dimulai saat saya meminta para pengurus senior ekstrakulikuler untuk merekrut anggota baru. Murid yang mendaftar kebanyakan kelas 7-8 dan rata-rata dari mereka belum kenal dengan saya. Walaupun saya sudah terkenal, sih! Upps
Karena waktu itu saya sedang ada izin kuliah, kisah ini pun berlanjut ke grup Whatsapp. Di suatu malam saya pernah mengumumkan agar para anggota grup siap-siap untuk membuat film pendek. Saya menyampaikannya dengan bahasa formal, runtut dan tidak lebai. Tapi ternyata?
Selang beberapa menit, beberapa nomor baru mengirim pesan kepada saya:
"Salam, Kak, kostum apa saja yang mesti saya persiapkan?"
"Salam, Kak, saya tidak mau mendapat peran yang jelek-jelek, tolong ya, Kak!"
Duh, mata saya rasanya berguncang hebat dan memperbesar urat nadi. Kok bisa mereka panggil Kakak padahal dalam isi pengumuman di WAG saya sudah menyebut diri sebagai Bapak.
Belum selesai, kisah ini kembali berlanjut di SMP saat kami mengadakan pembuatan film pendek. Waktu itu hari Jumat, saya datang tepat waktu dan segera berjalan manis menuju ke sekretariat.
Terlihat banyak murid-murid baru tegak berserakan di sekitaran sekre. Saya yakin, mereka adalah anggota baru. Tapi? Saya heran, satupun dari mereka tidak menyapa dan malah beberapa orang ada yang memanggil saya dengan sebutan Kakak. Duh!
Padahal, saya sudah berdandan semaksimal mungkin layaknya orang-orang tua. Jengkot ada, kumis lumayan bertumbuh. Tapi mengapa? Entahlah.
Di saat semua berkumpul dan saya memulai pembicaraan, barulah para anggota baru sadar hingga muka mereka tersipu merah layaknya buah naga. Mulai detik itu, mereka malah berubah sikap menjadi lebih hormat dan takzim. Hohoho
Kisah murid selesai, dan sekarang kisah pejabat. Cukup senada dengan anggapan kakak kelas, tapi kali ini malah saya sebagai guru muda dianggap sebagai murid. Masih di SMP yang sama.
Biasanya, setiap ada kegiatan-kegiatan seperti workshop, MGMP, pelatihan dan sosialisasi yang mengundang para pejabat, saya selalu diminta oleh kepala sekolah untuk memimpin doa pembuka. Saya mau-mau saja, karena biasanya dapat jatah snack 1 kotak. Kan, lumayan!
Acara ini sering terselenggara hari Sabtu di mana para guru mengenakan seragam batik bebas. Begitu juga dengan saya.
Dan, tibalah di hari Sabtu (entah tanggal berapa, saya lupa) dalam acara pelatihan para pejabat eselon. Saya kembali diminta untuk mempersembahkan doa pembuka. Kepala sekolah pun mengenalkan saya kepada salah satu panitia dari pihak pejabat eselon. Tapi, tiba-tiba saja panitia itu berkata:
"Nak, kamu ya yang memimpin doa. Kamu kelas berapa? Duduk di sini saja, ya!"
Saya hanya bersikap datar dan berkelahi dalam hati. "Kok saya masih dianggap siswa, padahal sudah pakai sepatu PDH, rapi, dan dandanan juga mirip dengan eselon!" Dalam khayal, hehehe
Tapi, perkelahian dalam hati saya segera tamat setelah pejabat tadi melihat name tag yang terpasang manis di sebelah kanan dada. Terbaca lengkap oleh pejabat tadi, dan kemudian beliau minta maaf. Tiba-tiba saja saya langsung dipanggil Bapak!
Dalam beberapa detik saja saya sudah pegal hati. Tapi, biarpun hanya sebentar saja pengalaman itu sudah menjadi pembelajaran bagi saya, untuk menata mental dan hati.
Tampilan dan kondisi fisik mungkin mudah, bahkan sangat mudah menipu dan mengelabui mata seseorang. Jika tidak mampu mencerna hati dan mengiraskannya dengan mata, bisa jadi seseorang akan terbuai hingga senang menganggap rendah.
Perilaku ini jika dipelihara akan sangat membahayakan. Maka darinya, tetaplah kita berusaha untuk menjadi sosok yang bijaksana, menghargai semua profesi, dan bersikap rendah hati.
Salam dari Guru Muda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H