Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Awas, Gara-gara Covid-19 Orangtua Bisa Jadi Monster di Rumah!

29 Maret 2020   19:50 Diperbarui: 30 Maret 2020   15:44 1802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orangtua sebagai monster di rumah. appletreebsd.com

Monster! Begitulah kiranya julukan yang bisa kita bebankan kepada wabah Covid-19. Beredarnya virus bertajuk SARS-CoV-2 ini telah memusingkan dan membantai berbagai lintas sektor kehidupan. Tidak hanya ekonomi dan keamanan, bidang edukasi pun dibantainya.

Tak heran jika kemudian sekolah-sekolah dalam negeri saat ini sudah banyak bergelantungan sarang laba-laba karena hilang hunian. Bukan karena siswanya tak mau sekolah, tapi sekolahnya yang dipindahkan ke rumah.

Alhasil, urusan siswa kemudian hampir dilimpahkan sepenuhnya kepada orangtua. Terutama kegiatan belajar, dari yang seharusnya di sekolah bersama guru akhirnya dipindahkan ke rumah bersama orangtua.

Guru barangkali kelihatannya tidak terlalu sibuk. Tapi ketahuilah, tugas guru di sini mesti memastikan bahwa kegiatan belajar di rumah benar-benar ada, dilaksanakan secara sistematis, terarah, serta menyesuaikan dengan kondisi dan situasi yang terjadi di tengah pandemi.

Tidak lupa, guru juga diwajibkan untuk terus memberikan motivasi yang menyentuh sehingga semangat juang siswa-siswa tidak pudar layaknya sampul buku yang kehujanan.

Lalu, bagaimana dengan orangtua di rumah? Sejatinya, tugas dan kewajiban mereka saat ini adalah mendampingi anak-anaknya. Kadang atau bahkan seringkali anak-anak kesulitan dalam belajar, dalam mengerjakan tugas, serta melawan kemalasan yang muncul dari diri sendiri.

Buah dari kesulitan-kesulitan ini, anak-anak bisa stres dan terguncang kondisi fisiknya jika tidak didampingi. Anak-anak mungkin banyak teman, tapi karena kondisinya adalah belajar di rumah maka teman-teman tadi statusnya hanya dekat dari dunia maya semata.

Pertanyaannya di sini, apakah kehadiran orangtua di rumah lantas bisa mendampingi anaknya dengan baik? Atau, malah menjadi sosok yang ditakuti layaknya monster yang ganas?

Belakangan ini kita dihebohkan dengan beberapa video viral yang menampakkan kegelisahan saat anak belajar di rumah. Salah satunya adalah video yang berjudul "Tuh kan ilang otaknya!"

Video viral
Video viral
Dalam video ini terkuak ada seorang anak yang sedang mengerjakan tugas. Namun, tiba-tiba saja ibunya menghampiri dengan nada bentakan sehingga anak tadi malah ngomel karena jawaban yang ia temukan hilang di otak.

Belum selesai di sana, sang ibu kembali mengusik kegiatan anak hinggalah anak tadi hilang fokus. Sontak saja anak tadi menyebut "Tuh kan ilang otaknya!"

Barangkali, dari untaian video yang tersebar ke seluruh penjuru medsos ini sebagian besar netizen menganggap hal itu sebuah kelucuan. Tapi, salah satu hal yang patut kita pertanyakan adalah, mengapa sang anak tadi begitu terganggu dengan kehadiran ibunya?

Mestinya, keberadaan dan pendampingan sosok orangtua terhadap anak yang belajar di rumah dapat mewujudkan ketentraman belajar. Tapi ini malah sebaliknya, anak lebih suka sendiri dan ketika orangtuanya datang, fokus serta pikiran anak malah ambyar.

Di suasana yang lain, tidak sedikit pula kita temukan ungkapan-ungkapan yang menandakan bahwa anak lebih suka sekolah daripada belajar di rumah. Ungkapan ini juga belakangan sering kita temui di media sosial baik dalam bentuk tulisan, gambar, hinggalah pantun.

Pantun keluhan siswa yang viral di media sosial. Tangkapan Layar Facebook
Pantun keluhan siswa yang viral di media sosial. Tangkapan Layar Facebook
Isi keluhnya tidaklah jauh berbeda. Semua mengarah pada ketidaknyamanan anak saat belajar di rumah. Anak berpandangan bahwa orangtuanya, terutama ibu di rumah tidak cocok jadi guru. Atas keluh inilah anak lebih suka belajar di sekolah. Ya, semoga corona segera tamat.

Awas, Orangtua Jangan Jadi Monster di Rumah!

Ilustrasi orangtua sebagai monster di rumah. appletreebsd.com
Ilustrasi orangtua sebagai monster di rumah. appletreebsd.com

Gara-gara Covid-19, anak belajar di rumah. Gara-gara anak belajar di rumah, orangtua mesti rela melakukan pendampingan. Gara-gara keduanya, anak malah rindu ingin segera sekolah. Lah, jangan-jangan di rumah ada monsternya?

Bisa jadi, dan monster itu bernama orangtua. Dari mana kita bisa menebak bahwa orangtua itu adalah monster yang ganas?

Pertama, dari ketidaknyamanan anak dalam belajar di rumah. Kedua, karena ketidaksabaran orangtua dalam mendampingi anak belajar. Ketiga, anak sering dibentak dan dimarahi dalam belajar. Keempat, peraturan di rumah sangat ketat dan anak sering dihukum. Kelima...

Sisanya tebak sendiri, ya? Barangkali kalau anak-anak sendiri yang mengemukakan alasannya secara terbuka, maka sebab-sebab adanya monster di rumah bisa jadi sampai 15. Hohoho

Sepertinya cukup mengerikan. Rumah yang sejatinya merupakan tempat paling nyaman untuk didiami dan belajar, malah berubah menjadi ruang sekap yang dijaga oleh monster ganas. Siapakah monsternya? Tentu saja orangtua yang masuk dalam kategori yang tersebut di atas.

Jika sedikit kita sandingkan dengan pola asuh, maka terkuak ciri bahwa orangtua yang tindakannya seperti monster dalam mendidik anak sudah tergolong sebagai orangtua otoriter.

Otoriter di sini adalah tindakan orangtua yang berkuasa sepenuhnya, sesukanya dan sewenang-wenang. Sebenarnya jika kita kembalikan kepada fakta bahwa semua orangtua pasti ingin anaknya bahagia dan sukses, maka pola asuh ini bisa terbantahkan dengan sendirinya.

Barangkali orangtua ingin anaknya berkepribadian sesuai dengan standar yang ditetapkan di rumah, dan anak tersebut harus menuruti. Saat hal ini berhasil, efek positifnya adalah kegiatan belajar di rumah akan tertata, siswa akan disiplin, serta perbuatan buruk anak akan terbatasi.

Efek ini bukanlah sekadar duga dan prasangka. Menurut salah satu jurnal yang terbit di International Journal of Adolescence and Youth, sang peneliti Hiromi Hirata mendapat kesimpulan bahwa:

"Our findings provide new evidence that the authoritative parenting style has a significantly positive influence on each personal growth initiative (PGI) and self-esteem among Japanese university students."

Dari penelitian yang melibatkan 329 pelajar dengan rentang umur 18-23 tahun ini, tersingkap kesimpulan bahwasannya pola asuh otoriter orangtua akan berpengaruh positif terhadap inisiatif, pertumbuhan kepribadian serta harga diri seorang pelajar.

Cakupan perilakunya seperti keyakinan seseorang bahwa dirinya bisa berubah, bisa mengatur perencanaan tujuan dan strategi belajar yang matang, hingga mampu menetapkan sendiri target untuk mencapai hasil yang maksimal dalam belajar.

Lalu, negatifnya bagaimana? Persis seperti beberapa temuan yang penulis ungkapkan di awal tadi. Anak tidak betah di rumah, tidak fokus saat orangtua mendampingi, sedikit-sedikit menangis, membentak orangtua, suka menentang, mudah tersinggung, hingga rawan stres.

Terang saja, faktor usia, latar belakang orangtua, lingkungan, serta kondisi psikologis anak tidaklah bisa disamakan.

Biarpun orangtua otoriter dalam hal positif, tapi jika anaknya masih berada pada masa-masa PAUD dan SD maka dampak negatiflah yang akan dihasilkan. Lebih lagi jika otoriternya sudah main fisik.

Maka darinya, orangtua perlu mengenal lebih lanjut karakter anaknya. Kesempatan libur sekolah karena efek dari Covid-19 kiranya bisa dimanfaatkan untuk lebih dekat dan mendalami kepribadian anak.

Jika guru saja sabar mengajarkan anak-anak saat di sekolah, orangtua tentu bisa lebih sabar lagi karena sejatinya waktu anak lebih lama dengan orangtua dibandingkan dengan guru di sekolah.

Lagi, tidak dimungkiri bahwa semua orangtua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Tidak jarang, keinginan itu sangat tinggi harapannnya di sisi orangtua tapi bertolak belakang dengan keinginan dan kemampuan anaknya.

Bukannya anak tidak berpotensi, tapi biarkanlah mereka leluasa memilih sesuatu yang diminatinya. Orangtua mesti sadar betul akan hal ini. Ibaratkan biji rambutan yang tertanam di atas besi, biji tidak akan bertunas hingga ia menemukan tanah sebagai lahannya.

Begitu pula dengan anak. Jika orangtua berperan sebagai monster di rumah kemudian memaksanya untuk bertunas, bertumbuh dan berkembang, tapi orangtua tidak menyediakan lahan yang subur, maka anak tadi akan susah tumbuh.

Barangkali penjelmaan orangtua sebagai monster akan berfaedah saat anak sudah beranjak dewasa, terutama untuk memberi garis merah kepada perilaku-perilaku unfaedah yang bisa mematikan masa depan anak. Tapi, selagi anak masih kecil, jadilah malaikat terlebih dahulu.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun