Barangkali orangtua ingin anaknya berkepribadian sesuai dengan standar yang ditetapkan di rumah, dan anak tersebut harus menuruti. Saat hal ini berhasil, efek positifnya adalah kegiatan belajar di rumah akan tertata, siswa akan disiplin, serta perbuatan buruk anak akan terbatasi.
Efek ini bukanlah sekadar duga dan prasangka. Menurut salah satu jurnal yang terbit di International Journal of Adolescence and Youth, sang peneliti Hiromi Hirata mendapat kesimpulan bahwa:
"Our findings provide new evidence that the authoritative parenting style has a significantly positive influence on each personal growth initiative (PGI) and self-esteem among Japanese university students."
Dari penelitian yang melibatkan 329 pelajar dengan rentang umur 18-23 tahun ini, tersingkap kesimpulan bahwasannya pola asuh otoriter orangtua akan berpengaruh positif terhadap inisiatif, pertumbuhan kepribadian serta harga diri seorang pelajar.
Cakupan perilakunya seperti keyakinan seseorang bahwa dirinya bisa berubah, bisa mengatur perencanaan tujuan dan strategi belajar yang matang, hingga mampu menetapkan sendiri target untuk mencapai hasil yang maksimal dalam belajar.
Lalu, negatifnya bagaimana? Persis seperti beberapa temuan yang penulis ungkapkan di awal tadi. Anak tidak betah di rumah, tidak fokus saat orangtua mendampingi, sedikit-sedikit menangis, membentak orangtua, suka menentang, mudah tersinggung, hingga rawan stres.
Terang saja, faktor usia, latar belakang orangtua, lingkungan, serta kondisi psikologis anak tidaklah bisa disamakan.
Biarpun orangtua otoriter dalam hal positif, tapi jika anaknya masih berada pada masa-masa PAUD dan SD maka dampak negatiflah yang akan dihasilkan. Lebih lagi jika otoriternya sudah main fisik.
Maka darinya, orangtua perlu mengenal lebih lanjut karakter anaknya. Kesempatan libur sekolah karena efek dari Covid-19 kiranya bisa dimanfaatkan untuk lebih dekat dan mendalami kepribadian anak.
Jika guru saja sabar mengajarkan anak-anak saat di sekolah, orangtua tentu bisa lebih sabar lagi karena sejatinya waktu anak lebih lama dengan orangtua dibandingkan dengan guru di sekolah.
Lagi, tidak dimungkiri bahwa semua orangtua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Tidak jarang, keinginan itu sangat tinggi harapannnya di sisi orangtua tapi bertolak belakang dengan keinginan dan kemampuan anaknya.
Bukannya anak tidak berpotensi, tapi biarkanlah mereka leluasa memilih sesuatu yang diminatinya. Orangtua mesti sadar betul akan hal ini. Ibaratkan biji rambutan yang tertanam di atas besi, biji tidak akan bertunas hingga ia menemukan tanah sebagai lahannya.
Begitu pula dengan anak. Jika orangtua berperan sebagai monster di rumah kemudian memaksanya untuk bertunas, bertumbuh dan berkembang, tapi orangtua tidak menyediakan lahan yang subur, maka anak tadi akan susah tumbuh.