Saya sendiri, cukup sependapat dengan pernyataan sang pengamat ini. Terang saja, jika kita sedikit mengorek ke dalam isi kurikulum 2013 yang selama ini sudah diterapkan, terkuaklah kesan bahwa konsep karakter yang ditawarkan kurikulum belumlah matang.
PR sudah ditiadakan, ranking sudah didelete, pembelajaran harus tuntas di sekolah, sikap sosial dan spiritual sudah masuk dalam form penilaian, tapi?
Masih banyak orangtua yang rela menghitung sendiri nilai anaknya untuk kemudian dibandingkan dengan anak lain. Masih banyak pula anak yang nilainya tuntas dan lulus, tapi suka mencaci, mem-bully dan tidak menunjukkan sikap menghormati.
Pertanyaannya sekarang, mana itu karakter? Hemm, jawabannya mungkin karakter itu sudah dihafal oleh siswa, tapi lupa diterapkan. Atau, karakter itu sudah ada dan melekat pada diri siswa, namun terlanjur "dibeli" oleh teknologi.
Begitu rumit kiranya, dan di saat kerumitan ini melanda kita juga berhadapan dengan bencana bernama coronavirus. Tagar "Stay at Home" mungkin bisa jadi obat pereda sementara. Bukan semata pereda coronavirus, melainkan juga pereda peliknya kisruh pendidikan.
Saat "Stay at Home" digaungkan, maka saat itu pula orangtua bisa ikut campur lebih dalam mendidik dan mengajar anak. Jika susah untuk mengubah mindset anak dari transfer of knowledge menjadi transfer of value, maka biasakan saja anak-anak untuk menerapkan perilaku yang bernilai.
Orangtua Hadirkan Pendidikan Nilai dalam Keluarga
Hadirkan pendidikan nilai di rumah, barangkali inilah harapan terbesar yang bisa kita bebankan kepada para orangtua. Rumah itu sangat penting bagi anak, karena di dalamnya orangtua bisa menyalurkan makna terdalam bin mulia dari pendidikan.
Makanya sebelum itu, kita dan orangtua perlu terlebih dahulu merenung dan melakukan refleksi mendalam tentang rumah kita..... Sudah? Jika sudah, pasti jawaban dari refleksi itu adalah nilai-nilai mulia pendidikan.
Barangkali, selama di sekolah anak-anak sudah kenyang makan berbagai pengetahuan, sudah gemuk dengan rumus-rumus, serta sudah berotot dengan asupan butir-butir Pancasila.
Jangan-jangan anak malah overdosis karena kebanyakan makan teori? Wajar jika overdosis, teori yang super-duper banyak itu belum semua anak implementasikan di rumah.
Dan sekarang, tibalah saatnya orangtua di rumah menguji kognitif alias pengetahuan anak-anaknya. Baik atau tidak implementasinya, terbiasa atau tidak perilaku positifnya. Jika anak kurang baik dan kurang terbiasa, maka orangtua bisa menebar keteladanan di rumah.
Sederhana, lagi-lagi dimulai dengan perilaku sederhana tapi terstruktur. Misalnya dengan mengajak anak menerapkan perilaku bangun pagi, membantu membereskan rumah, memasak di dapur hingga mengasuh adik.