Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Stay at Home, Saatnya Orangtua Hadirkan Pendidikan Nilai dari Rumah

27 Maret 2020   21:19 Diperbarui: 27 Maret 2020   23:31 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tingkatan Kompetensi Ranah Afektif Menurut Taksonomi Bloom. enggar.net

Seperti angin lalu saja, ternyata kehadiran coronavirus telah membuat dampak yang besar terhadap jalannya pendidikan di Indonesia. Pertama, sekolah diliburkan dan anak-anak dipersilahkan untuk belajar di rumah. Kedua, Ujian Nasional ditiadakan.

Keduanya adalah kebijakan yang diambil secara mendesak dan darurat demi mengantisipasi penyebaran pandemi coronavirus lebih jauh lagi. Akhirnya, siswa sibuk menggelar pembelajaran dari rumah, dan orangtua juga sibuk menemaninya.

Beberapa waktu yang lalu, sempat kita dengar keluh dari siswa dan orangtua yang sampai ke mulut KPAI. Isi keluh, yaitu banyaknya tugas hingga menggelorakan daya pikir dan tenaga siswa. Keluh ini ditutup dengan pernyataan KPAI yang menyebut guru gagal paham.

"Lalu, apa benar guru memang gagal paham?"

"Jika guru gagal paham, apa bisa kita simpulkan bahwa sistem pendidikan hari ini belum lurus?"

Sejenak kita renungkan, ternyata tidak semuanya salah guru, tidak semuanya salah sistem pendidikan, dan tidak semuanya salah penyelenggara pendidikan. Tidak juga semuanya salah KPAI. Hohoho

Guru disebut gagal paham, sebenarnya ini adalah efek dari susahnya Indonesia mengubah mindset tentang pendidikan. Bagian terpenting dari pendidikan adalah value (nilai), sedangkan banyak dari kita yang terbelenggu dengan knowledge (ilmu pengetahuan).

Pembelajaran yang digelar di sekolah kebanyakan mendahulukan pentingnya transfer of knowledge dibandingkan transfer of value. Karena dari pusatnya kita sudah terbelenggu, maka siswa juga ikut terbelenggu dengan knowledge.

Akhirnya, bermunculanlah banyak lulusan yang nilai PKn-nya 95, tapi nilai perilakunya 30. Bahkan, bisa lebih rendah hingga mendekati titik beku. Semakin jelas bahwa lulusan tadi hanya unggul di aspek kognitif dan kalah telak di aspek tanggung jawab kehidupan.

Jika hanya satu atau dua contoh yang kita temui di lapangan, mungkin tak mengapa. Mudah dicari siapa yang salah, dan bagaimana cara mengobatinya. Tapi ini? Bertahun-tahun, bahkan semakin tahun semakin menuju ambruk.

Entah patut disyukuri atau tidak, kehadiran coronavirus hari ini seakan telah memberhentikan sementara tamparan keras pada wajah pendidikan Indonesia. Sebelum corona menyerang, wajah pendidikan terus-menerus dilukai dengan kasus perundungan, asusila, hingga aniaya.

Mungkin, sekaranglah waktu yang tepat bagi pemerintah untuk meramu kembali bedak-bedak wajah pendidikan kita. Selagi sempat!

Sejalan dengan ini, Pengamat Pendidikan dari Center for Education Regulaton and Development Analysis (Cerdas), Indra Charismiadji ikut berkomentar bahwa bertahun-tahun kita hanya berlarian di konsep yang salah.

Indonesia masih terborgol dengan konsep yang mengedepankan pada apa yang dipelajari, bukan bagaimana cara belajar. Untuk itulah, mesti ada reset ulang terhadap pencapaian mutu.

"Ini dampak positif dari pandemi ini kita bisa me-reset kondisi yang sudah bertahun-tahun berjalan dan yang menurut saya salah satu penyebab buruknya mutu pendidikan Indonesia dengan konsep yang seperti ini." ucap Indra.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun