Hari ini, Presiden Jokowi resmi mengumumkan bahwa UN telah dihapus. Dengan keberadaan wabah coronavirus yang semakin mengancam, peniadaan UN sudah menjadi salah satu kebijakan yang cukup bijaksana.
Terang saja, jika nanti nanti UN akan tetap digelar maka secara otomatis UN akan menentang sendiri kebijakan social distancing yang selama ini digaungkan pemerintah. Siswa akan saling berkerumun, begitu pula dengan seluruh stakeholder pendidikan yang menaungi UN.
Padahal, UN sebenarnya sudah diketok palu akan dihapuskan pada tahun 2021 mendatang. Hal ini sudah menjadi salah satu kebijakan Merdeka Belajar Mas Nadiem di masa-masa awal pelantikan dirinya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Jubir Presiden Fadjroel Rachman mengungkapkan, UN 2020 ditiadakan mulai dari tingkat SD, SMP, SMA, serta MI, Mts, dan MA. Ini adalah tuah dari rapat terbatas yang sempat digelar bersama Presiden pada Selasa (24/03/2020).
Menimbang keadaan bumi Indonesia saat ini, kita memang sudah semestinya mengutamakan kemaslahatan rakyat. Keputusan belajar dari rumah, bekerja dari rumah dan beribadah dari rumah tetap menjadi kebijakan yang kiranya dapat secara istiqomah dilaksanakan.
Meski kebijakan UN secara resmi sudah ditiadakan, tetap pertimbangan ke depan yang mesti dibahas adalah bagaimana penetapan standar kelulusan di Indonesia.
Untuk menjawab perihal ini, Mas Nadiem mengungkapkan bahwa para siswa tidak usah terlalu khawatir dengan kebijakan peniadaan UN. Jelasnya, UN bukanlah syarat kelulusan dan bukan juga syarat seleksi masuk perguruan tinggi. Penilaian kelulusan bisa dialihkan dengan cara lain.
"Ujian sekolah bisa diadministrasi lewat banyak opsi misalnya online atau angka lima semester lain itu ditentukan masing-masing sekolah. Dan ujian sekolah tidak kami paksa untuk mengukur seluruh capaian kurikulum, banyak sekolah online tapi belum optimal tapi tidak kami paksa untuk mengukur capaian yagn terdistrupsi oleh Covid-19," ucap Mas Nadiem pada Selasa (24/03/2020).
Agaknya, opsi ujian sekolah bisa jadi pertimbangan alias syarat kelulusan siswa. Namun, jika kita kembali lagi kepada kebijakan social distancing, maka sudah pasti ujian sekolah tidak bisa digelar dengan cara tatap muka. Lagi-lagi keamanan dan kesehatan lebih utama.
Barangkali untuk beberapa sekolah, ujian bisa dilaksanakan secara daring (online). Namun, hal ini bisa dilakukan jika masing-masing sekolah di desa sudah bersinyal kencang.
Sedangkan opsi lain dari Ketua Komisi X Syaiful Huda, kelulusan bisa didasarkan dari akumulasi nilai rapor.
Tentu saja keputusan ini perlu pertimbangan dan pembahasan lebih lanjut oleh pihak Kemendikbud. Yang jelas, kita semua agak terkejut dengan penghapus UN dadakan ini. Namun, mau bagaimana lagi. Keadaan bumi Indonesia belumlah aman dan kondusif.
Legowo Dahulu, UN Dihapus Demi Kemaslahatan Penduduk Bumi
Sontak saja, banyak pihak-pihak yang terkait dengan UN agak kecewa dan berkeluh kesah atas peniadaan UN yang tiba-tiba ini. Mayoritas keluh datang dari para siswa tingkat akhir yang selama ini sudah sangat serius untuk mempersiapkan diri jelang UN.
"Bapak, UN ditiadakan. Jadi pengangguran saya sekarang! "
Sang siswa menyebut dirinya pengangguran karena tidak ada lagi kesibukan berarti baginya. Biasanya, persiapan UN selalu ia geluti dengan serius untuk mendapatkan hasil terbaik. Terang saja, saat UN jenjang SMP 3 tahun lalu ia sempat mendapat nilai terbaik di provinsi.
Bagi seorang siswa yang segera akan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, UN memang dipandang layaknya kompetisi final. Biarpun UN tidak menjadi prasyarat daftar kuliah, tapi dari hasil UN anak tetap bisa mengukur minat dan jurusan yang akan dipilihnya.
Cocok atau tidak jika nanti ia kuliah di jurusan ini. Karena soal-soal UN bertaraf nasional, maka pengukuran minat dari hasil UN bisa dijadikan salah satu referensi.
Terkait dengan penghapusan ini, sebenarnya tidak hanya siswa yang panik dan kecewa. Pembuat soal UN juga mungkin cukup tersentak dengan ini.
Belum lagi ada operator-operator sekolah yang sudah mulai menata pelaksanaan UN, bimbel-bimbel, serta penulis buku kiat-kiat menghadapi UN juga ikut tersentak.
Namun, entah apapun keluh dan kesah itu sikap terbaik adalah berbesar hati alias legowo terlebih dahulu. Di lain sisi, kita bisa membayangkan seandainya UN tetap dilaksanakan walau coronavirus belum berakhir. Apa yang akan terjadi? Tentu saja banyak negatifnya.
Kalau yang dikeluhkan adalah soal ilmu, maka yang perlu ditekankan adalah bahwa ilmu itu tidak ada satupun yang sia-sia. UN hanya ujian atas ilmu. Lebih dari itu, ilmu akan memberi kebermanfaatan tersendiri bagi para pejuangnya.
Terakhir, pemerintah melalui Kemendikbud sedang mengambil panggung utama saat ini. Mereka perlu segera mementaskan opsi-opsi terbaik pengganti UN. Tentu saja dengan pertimbangan utama demi kemaslahatan penduduk bumi Indonesia.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H