Sontak saja, banyak pihak-pihak yang terkait dengan UN agak kecewa dan berkeluh kesah atas peniadaan UN yang tiba-tiba ini. Mayoritas keluh datang dari para siswa tingkat akhir yang selama ini sudah sangat serius untuk mempersiapkan diri jelang UN.
"Bapak, UN ditiadakan. Jadi pengangguran saya sekarang! "
Sang siswa menyebut dirinya pengangguran karena tidak ada lagi kesibukan berarti baginya. Biasanya, persiapan UN selalu ia geluti dengan serius untuk mendapatkan hasil terbaik. Terang saja, saat UN jenjang SMP 3 tahun lalu ia sempat mendapat nilai terbaik di provinsi.
Bagi seorang siswa yang segera akan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, UN memang dipandang layaknya kompetisi final. Biarpun UN tidak menjadi prasyarat daftar kuliah, tapi dari hasil UN anak tetap bisa mengukur minat dan jurusan yang akan dipilihnya.
Cocok atau tidak jika nanti ia kuliah di jurusan ini. Karena soal-soal UN bertaraf nasional, maka pengukuran minat dari hasil UN bisa dijadikan salah satu referensi.
Terkait dengan penghapusan ini, sebenarnya tidak hanya siswa yang panik dan kecewa. Pembuat soal UN juga mungkin cukup tersentak dengan ini.
Belum lagi ada operator-operator sekolah yang sudah mulai menata pelaksanaan UN, bimbel-bimbel, serta penulis buku kiat-kiat menghadapi UN juga ikut tersentak.
Namun, entah apapun keluh dan kesah itu sikap terbaik adalah berbesar hati alias legowo terlebih dahulu. Di lain sisi, kita bisa membayangkan seandainya UN tetap dilaksanakan walau coronavirus belum berakhir. Apa yang akan terjadi? Tentu saja banyak negatifnya.
Kalau yang dikeluhkan adalah soal ilmu, maka yang perlu ditekankan adalah bahwa ilmu itu tidak ada satupun yang sia-sia. UN hanya ujian atas ilmu. Lebih dari itu, ilmu akan memberi kebermanfaatan tersendiri bagi para pejuangnya.
Terakhir, pemerintah melalui Kemendikbud sedang mengambil panggung utama saat ini. Mereka perlu segera mementaskan opsi-opsi terbaik pengganti UN. Tentu saja dengan pertimbangan utama demi kemaslahatan penduduk bumi Indonesia.
Salam.