Kata orang, jangan buru-buru mengambil kesan dari pertemuan pertama. Kita tidak tahu hidungnya asli atau tidak, kita tidak bisa memastikan hatinya sudah tulus atau pamrih, dan kita belum bisa memberikan cap sederhana atau kaya kepadanya.
Di satu sisi memang benar, dan pembenaran ini bisa dijadikan penegasan bahwa jika kita ingin mengenal seseorang secara utuh maka tidak cukup hanya dengan sekali berjumpa. Butuh beberapa kali, hingga berpuluh kali jumpa untuk mengenalnya secara mendalam.
Tapi di sisi lain, ada pula saat di mana kesan pertama itu lebih penting daripada kesan-kesan jumpa berikutnya. Misal, hari pertama kerja. Penilaian kadang dicukupkan dari perjumpaan awal untuk membuktikan karyawan baru punya integritas atau tidak.
Semua bisa tampak dari penampilan awal. Jika di awal jumpa penampilan dan gayanya sudah centang-perenang, muka berkecamuk dan kusut, maka langsung saja cap "Belum siap kerja" segera melayang kepadanya.
Kadang juga beberapa orang yang telah mendapat cap kurang baik ini masih diberikan kesempatan lanjutan. Senior menegurnya agak esok hari tidak lagi seperti ini dan itu, jangan lagi berpakaian seperti ini dan seperti itu. Beruntunglah para pekerja yang mendapatkannya.
Mungkin wajar kiranya diberikan kesempatan, karena penampilan secara fisik memang tidak selalu mencerminkan integritas dan isi hati. Tapi, bagaimana jika penampilan awal sudah dicap tidak beretika?
Baru masuk kerja sudah sombong dan pamer. Baru naik jabatan sudah terlalu banyak mengatur ini itu dan ingin dipandang jadi bos. Baru dapat kerja sebagai pegawai tetap sudah menghina pegawai kontrak sepenuhnya.
Padahal masih penampilan awal, tapi gayanya sudah kurang sedap dan tak beretika. Siapa yang akan senang? Rasanya peperangan di ruang kerja sering dimulai dari sini.
Tampil Apa Adanya, Bukan dengan Bergaya
Ketika awal jumpa diberikan penampilan bergaya, maka kesan dan pemahaman yang akan tumbuh berikutnya adalah penampilan bergaya itu sendiri. Dan ketika awal jumpa berpenampilan sederhana, maka kesan dan pengertian berikutnya tetap di jalur sederhana.
Kenyataan ini bisa kita amati dari pasangan yang pernah menggelar cinta monyet. Ya, cintanya para anak muda yang masih meraba-raba prinsip hidup dan sedang berusaha menundukkan hawa nafsu.
Bisa dibayangkan bagaimana pertemuan pertama mereka sebelum menjalin hubungan. Laki-laki tidak jarang akan bergaya lebih tinggi dari kemampuan aslinya, dan perempuan yang ingin ia temui akan mengobrak-abrik penampilannya agar selalu terlihat cantik.
Kadang, setiap pertemuan selalu ada coklat yang datang, selalu ada bunga mawar yang datang, dan selalu ada traktiran jajan sesudahnya. Ujung-ujungnya? Bosan dan putus.
Begitu pula dengan sosok laki-laki yang punya gaya gombal tinggi untuk meraih hati seorang perempuan. Dan, perempuan yang tidak kuat hati akan mudah luluh termakan gombal. Sama saja, ini pula cinta monyet yang hanya akan bertahan sekejap saja.
Rasanya, kisah ini tidak begitu bersebrangan seperti apa yang dialami seorang karyawan di ruang kerja. Kadang, seseorang yang sudah terlanjur bergaya tinggi di awal jumpa dengan bos akan terus menutupi gaya tingginya agar selalu terlihat sempurna tanpa cacat.
Akhirnya, kalau tidak susah sendiri maka akan lahir banyak kebohongan. Kebohongan pertama akan disimpan dengan cara melahirkan kebohongan kedua, ketiga, terus-menerus seperti itu. Tak penting berapa banyak kebohongan, terpenting tidak ketahuan.
Inilah yang kadang begitu bahaya. Jika gaya berupa penampilan fisik yang terlanjur ditampilkan di awal, maka seseorang akan kesusahan mencari materi untuk memoles penampilannya.
Sedangkan jika gaya berupa etika yang terlanjur ditampilkan untuk sekadar mencari perhatian, maka kalau tidak dicap muka dua seseorang akan dicap sebagai penjilat.
Maka dari itulah, penting kiranya tampil apa adanya di awal jumpa. Jujur saja, tidaklah berdosa kiranya jika seseorang mau mengakui kesederhanaannya, ketidakmampuannya serta kesalahan-kesalahan yang ia belum tahu cara memperbaikinya.
Jika diakui, rasanya tidak akan ada banyak orang yang menghina. Malahan, akan lebih banyak rekan yang bersedia membantu, termasuk atasan kita sendiri, walaupun memang lingkungan kerja itu menuntut agar para pekerjanya selalu siap kerja.
Tapi, lagi-lagi pekerja juga manusia. Manusia biangnya salah, dan kesalahan akan selalu dan senantiasa pernah dilakukan oleh manusia.
Bayangkan ketika kesalahan itu tidak segera diakui, malah ditutupi. Bisa jadi akan muncul kesalahan-kesalahan lain, dan jika terbongkar rasanya akan begitu sakit dan mengesalkan. Mengapa tidak dari dulu diakui? Menderita ujungnya.
Kembali kepada penampilan, jika ia sederhana maka amanlah kita. Karena sesuai dengan fakta dan kenyataan, tidak ada yang perlu ditutup-tutupi melainkan kita persilahkan agar orang lain memaklumi.
Bukannya tidak boleh bergaya, bukan pula tidak boleh tampil memesona. Mau bergaya, silahkan. Sesuai kemampuan dan isi dompet. Tapi jangan sampai menyusahkan diri sendiri, apalagi jika harus melahirkan kebohongan.
Bohong gaya dan etika itu berat, walaupun bisa ditutupi dengan kebohongan berikutnya tapi saat terbongkar semua, sungguh menyakitkan. Bersahaja sajalah.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H