Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Guru, Bebanmu Hari Ini Begitu Berat, Semoga Engkau Tidak Keberatan

10 Maret 2020   17:34 Diperbarui: 11 Maret 2020   20:00 2569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guru, teruslah bersemangat. (KOMPAS.com/M. Latief)

Apa kabar para guru hari ini?

Semoga kita senantiasa sehat dan selalu dalam lindungan-Nya, ya!

Ibaratkan lahan yang kering dan gersang, hari ini tugas guru dalam menanamkan karakter dan ilmu begitu berat. Berkali-kali mengharap hujan turun untuk membasahi lahan hati para siswa, tapi berkali-kali pula bumi sekolah hanya dilanda petir tanpa bersegera turun hujan.

Terang saja, jika lahan yang kering segera terbasahkan kita jadi mudah untuk bertanam. Begitu pula para guru. Jika hati dan pikiran siswa subur, karakter akan mudah tumbuh dan guru hanya perlu membiasakan diri memberikan pupuk ilmu agar mereka cepat berkembang.

Andai seindah ini jalannya pendidikan, barangkali guru-guru era milenial begitu bahagia. Biarpun gaji tersumbat, walaupun kesejahteraan belum kunjung meningkat, keduanya bukanlah alasan yang krusial untuk membuat guru berhenti bahagia.

Sayangnya, detik-detik ini jalannya pendidikan mulai jauh dari kata keindahan. Tantangan semakin berat, tingkah laku siswa sudah melanggar kata taat dan eksistensi media selalu saja membuat kita semua tepuk jidat.

Jika sesekali kita sempat membaca status dan komentar para guru di forum atau media sosial, agaknya tanda-tanda keberatan sudah mulai tampak.

"Siswa selalu saja mengesalkan, susah diatur dan perilakunya semena-mena. Bikin Capek saja!"

"Kok siswa begitu beraninya melawan guru, memukul guru. Kalau memang tidak mau taat, pindah saja ke sekolah lain!"

"Heran saya, mudah sekali orangtua emosi dan datang marah-marah ke sekolah Cuma untuk menentang kebijakan yang sepele. Sehebat apa dia? Sudah seperti preman saja!"

Komentar dan keluh guru yang seperti ini belakangan makin sering muncul. Ungkapannya memang terkesan menunjukkan tarian-tarian keberatan alias putus asa. Semoga para guru semakin kuat.

Guru, Jangan Keberatan untuk Selalu Menasihati

Tuah dari media sosial dan mbah Google, agaknya siswa hari ini sudah banyak makan lauk yang bernama nasihat. Entah itu sekadar nasihat dalam story, tweet, dan snap kebanyakan siswa sudah hapal hingga bisa menghias sendiri kata-kata nasihat menjadi lebih kaya diksi.

Tapi, walaupun banyak makan nasihat tetap saja banyak siswa yang "asbun". Tahu ilmu adab kepada guru, tapi susah untuk mengerjakan. Tahu perundungan itu salah, tapi malah dijadikan sebagai hiburan. Dinasihati guru dan orangtua, mereka malah berpura apatis.

Kadang, sudah bosan guru menasihati mereka di sekolah untuk jangan berperilaku ini dan itu, tapi tetap saja masih mereka langgar. Tidak terhitung lagi sebanyak apa energi yang guru tumpahkan untuk meluruskan kelakuan siswa. Bahkan tidak sedikit pula guru yang terlanjur emosi.

Tapi? Tugas dan kewajiban guru sebagai orangtua memang begitu. Mesti terus menasihati tanpa bosan sembari berharap nasihat itu sampai di relung hati para siswa. Berat memang, semoga guru tidak keberatan untuk terus melakukannya.

Jangan Bosan Jadi Teladan

Walau akhir-akhir ini sudah terlalu banyak terjadi peristiwa yang bertajuk degradasi karakter, rasanya kemirisan ini tidak bisa ditimpakan sepenuhnya atas kesalahan guru. Saya pribadi, sangat yakin bahwa di luar sana masih ada begitu banyak guru teladan yang mulia.

Bukan teladan buruk dimunculkan, melainkan teladan baik yang selalu mereka teguhkan. Jelas saja, teladan yang baik tidak bisa diasah hanya dengan terus memakan teori. Guru butuh pengalaman pembiasaan hingga berpuluh tahun untuk menjadikannya sebagai prinsip hidup.

Apalagi siswa? Mereka sekolah tidaklah sampai 10 jam dalam sehari. Kegiatan lebih banyak di rumah dan lingkungan yang menjadikan para orangtua serta lebih tahu bagaimana kebiasaan siswa yang sesungguhnya.

Terang saja, di sekolah mungkin siswa menunjukkan sikap yang mulia. Tapi, apakah karakter itu benar-benar mendarah daging hingga menyatu dengan hati siswa? Guru tidak sepenuhnya bisa menebak dengan jitu.

Toh, banyak kejadian miris di lapangan yang melanggar kenyataan. Misal, seperti kasus pilu seorang remaja yang membunuh balita. Guru di sekolah menjelaskan bahwa selama ini sang remaja tidak menunjukkan tanda-tanda yang aneh saat sekolah. Bahkan, ia cerdas.

Tapi, siapa sangka ia mampu berbuat demikian. Jangankan pihak sekolah, kita semua ikut terkejut mendengarnya. Pengawasan orangtua patut dipertanyakan, dan penyebab rusaknya karakter patut segera ditutup tanpa celah.

Orangtua memang tonggak utama, tapi guru juga jangan berhenti menjadi teladan walau hanya di sekolah. Terus terang, mengajar dan mendidik dengan teladan lebih ngena di hati siswa, daripada sekadar mengatur ini dan itu tanpa mencontoh.

Senantiasa Sabar dan Ikhlas

"Yang sabar dan ikhlas ya Bapak/Ibu guru!"

Kiranya ungkapan ini bisa jadi penyemangat bagi semua guru di manapun engkau berada. Lagi-lagi tidak terbantahkan bahwa sabar itu susah, ikhlas itu sulit. Tapi, bukankah keduanya adalah cerminan dari kemuliaan guru?

Tentu saja, kesimpulan ini juga tidak bisa disanggahkan. Belumlah hebat seorang guru ketika tingkat kesabarannya sangatlah rendah, belum mantap seorang guru ketika kadar keikhlasannya masih jauh dari kata rela.

Ungkapan "Sabar itu ada batasnya" akan sangat berat jika segera diganti dengan "Sabar itu tiada batasnya", seakan-akan guru itu setingkat dengan malaikat saja.

Tapi, kedua ungkapan itu bisa lebih indah dan menenangkan jika kita ganti dengan "Sabar itu adalah cahaya".

Makin sabar seorang guru, makin cerahlah ia karena sikap, makin teranglah keberadaannya dengan teladan. Inilah harapan kita bersama, juga harapan pribadi dari seorang guru.

Agaknya perihal ikhlas juga demikian. Memang, tidak dimungkiri bahwa keikhlasan sering direkatkan dengan uang, tapi fakta bahwa kita semua butuh uang juga tidak dapat disanggahkan. Yang jelas, pelaku ikhlas itu sendiri yang paham dan mengerti betapa ia rela.

Apalagi jika kata ikhlas ini kita rekatkan kepada guru, maka sungguh guru yang ikhlas makin mulia.

Bagaimana keikhlasan itu tampak? Ikhlas terlihat saat guru mau mengajarkan siswanya dengan sabar, kasih sayang, dan cinta yang tulus.

Bagaimana keikhlasan guru terbayarkan? Ikhlasnya seorang guru terbayarkan oleh sesuatu yang sifatnya non-materi, yaitu kesuksesan seorang siswa.

Duh, makin dalam pembahasan, rasa-rasanya keberadaan guru hampir setingkat dengan orangtua sungguhan.

Akhirnya, biarlah sabar dan ikhlas itu dipandang sebagai sesuatu yang berat bagi guru, asalkan guru jangan keberatan terhadapnya. Semoga, guru juga jangan bosan melakukan tugas-tugas berat ini. Bukan sekadar demi bangsa, orangtua maupun siswa, tapi juga demi dirinya sendiri.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun