Walau akhir-akhir ini sudah terlalu banyak terjadi peristiwa yang bertajuk degradasi karakter, rasanya kemirisan ini tidak bisa ditimpakan sepenuhnya atas kesalahan guru. Saya pribadi, sangat yakin bahwa di luar sana masih ada begitu banyak guru teladan yang mulia.
Bukan teladan buruk dimunculkan, melainkan teladan baik yang selalu mereka teguhkan. Jelas saja, teladan yang baik tidak bisa diasah hanya dengan terus memakan teori. Guru butuh pengalaman pembiasaan hingga berpuluh tahun untuk menjadikannya sebagai prinsip hidup.
Apalagi siswa? Mereka sekolah tidaklah sampai 10 jam dalam sehari. Kegiatan lebih banyak di rumah dan lingkungan yang menjadikan para orangtua serta lebih tahu bagaimana kebiasaan siswa yang sesungguhnya.
Terang saja, di sekolah mungkin siswa menunjukkan sikap yang mulia. Tapi, apakah karakter itu benar-benar mendarah daging hingga menyatu dengan hati siswa? Guru tidak sepenuhnya bisa menebak dengan jitu.
Toh, banyak kejadian miris di lapangan yang melanggar kenyataan. Misal, seperti kasus pilu seorang remaja yang membunuh balita. Guru di sekolah menjelaskan bahwa selama ini sang remaja tidak menunjukkan tanda-tanda yang aneh saat sekolah. Bahkan, ia cerdas.
Tapi, siapa sangka ia mampu berbuat demikian. Jangankan pihak sekolah, kita semua ikut terkejut mendengarnya. Pengawasan orangtua patut dipertanyakan, dan penyebab rusaknya karakter patut segera ditutup tanpa celah.
Orangtua memang tonggak utama, tapi guru juga jangan berhenti menjadi teladan walau hanya di sekolah. Terus terang, mengajar dan mendidik dengan teladan lebih ngena di hati siswa, daripada sekadar mengatur ini dan itu tanpa mencontoh.
Senantiasa Sabar dan Ikhlas
"Yang sabar dan ikhlas ya Bapak/Ibu guru!"
Kiranya ungkapan ini bisa jadi penyemangat bagi semua guru di manapun engkau berada. Lagi-lagi tidak terbantahkan bahwa sabar itu susah, ikhlas itu sulit. Tapi, bukankah keduanya adalah cerminan dari kemuliaan guru?
Tentu saja, kesimpulan ini juga tidak bisa disanggahkan. Belumlah hebat seorang guru ketika tingkat kesabarannya sangatlah rendah, belum mantap seorang guru ketika kadar keikhlasannya masih jauh dari kata rela.
Ungkapan "Sabar itu ada batasnya" akan sangat berat jika segera diganti dengan "Sabar itu tiada batasnya", seakan-akan guru itu setingkat dengan malaikat saja.
Tapi, kedua ungkapan itu bisa lebih indah dan menenangkan jika kita ganti dengan "Sabar itu adalah cahaya".
Makin sabar seorang guru, makin cerahlah ia karena sikap, makin teranglah keberadaannya dengan teladan. Inilah harapan kita bersama, juga harapan pribadi dari seorang guru.