Hari ini dan selanjutnya para guru di bumi Indonesia agaknya perlu lebih serius dalam menjaga sikap dalam mengajar. Apalagi jika ingin main-main dengan memberikan hukuman fisik kepada siswa, dampaknya bisa fatal alias merugikan diri guru itu sendiri.
Contoh nyata yang baru saja terjadi, adalah kasus Guru SMAN 12 Bekasi yang mau tidak mau harus dipecat oleh Gubernur Jawa Barat akibat melakukan pemukulan kepada siswa yang terlambat.
Padahal, beberapa hari yang lalu para siswa SMA setempat sempat melakukan unjuk rasa dan menggaungkan petisi agar guru pelaku pemukulan tidak dipindahkan, apalagi dipecat. Namun, ketegasan tetaplah ketegasan dan para siswa SMAN 12 Bekasi tinggal siap menerima kenyataan.
Padahal lagi, guru itu sebenarnya merupakan sosok yang tegas bin disiplin. Meskipun terkadang cara mengajarnya keras, beliau memiliki integritas yang tinggi, bersih, dan mempunyai pengetahuan yang luas.
Displin memang patut dihargai, dan jika itu benar rasanya baik siswa maupun orangtuanya akan menerima dengan lapang dada. Toh, sebelumnya orangtua sendiri yang mau menitipkan anaknya dan mendaftar ke sekolah tersebut. Ini konsekuensi, bukan?
Sepertinya, ini memang buah pahit dari pemberian hukuman fisik oleh guru. Saya pribadi, sebagai guru SD dan mantan guru SMP beberapa kali juga pernah memberikan hukuman fisik, bahkan sampailah hari ini.
Namun, hukuman fisik ini bukanlah seperti pemukulan bertubi-tubi dan bertajuk emosional yang tinggi. Terang saja, jika memukul siswa dengan emosi maka ukuran pelan bagi guru akan terasa sakit bagi siswa.
Hukuman fisik yang dilayangkan hanya sekadar memukul jari siswa yang hitam-hitam dengan mistar plastik, memerintahkan siswa yang malas buat tugas untuk membersihkan lingkungan sekolah, hingga menyuruh mereka push-up karena sering lupa dengan hafalan perkalian.
Sekilas, ini bukanlah hukuman fisik yang keterlaluan menurut saya. Barangkali menurut kita semua juga demikian. Jujur saja, tidak semua siswa cukup ditegur dengan main mata atau dengan pukul meja. Di samping itu melelahkan, siswa juga akan abai terhadapnya.
Maka dari itu, sejenak bolehlah kita berkaca pada negara yang jauh di sana. Namanya Georgia.
Georgia Membolehkan Pemberian Hukuman Fisik Kepada Siswa
Saya ulangi, nama negaranya Georgia. Sejak tahun 2018 Negara ini mencoba menerapkan kembali kebijakan pemberian hukuman fisik pada siswa yang ketahuan melanggar aturan. Tepatnya di sekolah dasar Georgia School for Innovation and the Classics (GSIC).
"Di sekolah ini kami menerapkan disiplin dengan sangat serius," kata kepala sekolah Boulineau kepada media setempat, seperti dikutip dari BBC, Rabu (12/9/2018).
Lebih lanjut, Boulineau menganggap bahwa ada saat di mana hukuman fisik menjadi semacam norma yang berlaku di lingkungan sekolah. Hal ini dilakukan semata untuk mendisiplinkan siswa.
Namun, dalam prosesnya pemberian hukuman fisik ini tidak langsung dan buru-buru dilakukan. Sebelumnya, sekolah sudah berkoordinasi dengan pihak orangtua siswa dengan mengirimkan formulir pemberian hukuman.
Hebatnya, sekitar 100 formulir dikembalikan dengan nada setuju. Berikut ini isi sepucuk formulirnya:
"Siswa yang terbukti bersalah akan dibawa ke sebuah ruangan tertutup. Ia kemudian meletakkan tangannya di lutut atau furnitur di sekitar ruangan. Lalu tangan atau bokong mereka dengan penggaris kayu." Lembaran itu juga menuliskan, "Pukulan yang dilayangkan tidak lebih dari tiga hantaman."
Mengenai proses pemberian hukumannya, siswa yang melanggar aturan akan dibawa ke ruang hukuman.
Siswa dipersilahkan meletakkan tangan mereka di atas lutut atau meja, lalu bokongnya akan dipukul dengan kayu sepanjang 24 inci, lebar enam inci dan tebal tiga perempat inci. Mirip seperti penggaris kayu yang digunakan di sekolah-sekolah.
Karena sudah mendapat respon dan persetujuan yang positif dari orangtua, maka sekolah dan guru di GSIC terbebas dari hukum pidana. Orangtua di sana tidak khawatir, bahkan mereka senang. Buktinya, kebanyakan dari mereka setuju dengan pemberian hukuman fisik.
Lalu, bagaimana dengan kita Indonesia? Apakah mau mengikuti jejak Georgia?
Agaknya, 20 tahun lalu kita sudah menerapkan hukuman fisik seperti ini. hasilnya? Tentu saja berhasil. Buktinya? Semua para pejabat pemerintah, guru, dan orang hebat hari ini adalah balasan dari memar dan warna kulit kemerahan akibat hukuman fisik dari guru.
Atau, apakah Indonesia tidak mau ikut-ikutan Georgia karena mau menyaingi China dan Singapura?
Eits, dilihat dari peringkat PISA 2018 yang dibuat oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Indonesia masih duduk di peringkat ke-72. Georgia berada di peringkat ke-70. Sedangkan China dan Singapura masing-masing duduk di peringkat 1 dan 2.
Jauh sekali, ternyata. Dari sini, mau tidak mau pendidikan kita mesti dibenahi. Tidak hanya dari sekadar pemberian hukuman melainkan juga dari berbagai aspek pendidikan secara keseluruhan.
Untuk mewujudkan ini, perlu kerjasama, komitmen dan kepedulian semua pihak baik yang terkait dengan pendidikan secara langsung, maupun yang tidak langsung. Kita sudah menang kuantitas siswa, dan sekarang mari kita usung kemenangan dari tingkat kualitasnya.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H