Jika virus-virus ini merajalela, bukan tidak mungkin sifat optimis yang selama ini dipelihara siswa akan berubah menjadi pesimis dan bersikap "biarlah" atau "terserahlah".
Lagi-lagi ini alamat bahaya, karena jika terus dipelihara maka siswa akan terus-menerus dihantui perasaan gagal, terpuruk, dan kehidupan yang tidak maju-maju. Ujung-ujungnya? Sekolah dilaksanakan dengan setengah hati, sedangkan setengah lainnya berisi ketakutan.
Maka darinya, sebelum penyakit mental block ini menular dan singgah ke seluruh diri siswa, sekolah perlu melakukan tindakan pencegahan.
Beberapa hal yang perlu dilakukan yaitu terus meningkatkan optimisme, sikap positif, antusias kepada kebaikan, serta terbuka baik dari aspek pemikiran, perasaan dan juga tindakan.
Tentu saja peran seorang guru sangat krusial di sini. Guru mesti menanamkan kemauan yang kuat, mengajak siswa membangun diri, dan belajar untuk mengakui keadaan yang sebenarnya alis no tipu-tipu.
Jika kita kembali mengacu pada karakter dan kenyataan guru hari ini, agaknya dilema memang. Di sini guru jadi role model, tapi di sana guru jadi bad model. Di sini guru jadi motivator, tapi di sana guru jadi pemukul dan penganiaya.
Akhirnya kita sama-sama mesti menyadari bahwa di saat ada guru yang baik, ada juga guru yang jahat. Di saat ada guru yang taat, ada juga guru yang ingkar. Di saat ada guru yang berkompeten, ada juga guru yang "setengah jadi".
Ini fenomena, tapi biarlah tidak usah ditiru. Cukup jadikan pembelajaran, evaluasi diri, dan evaluasi kebijakan di hari kemudian.
Terpenting, sejak zaman nabi hinggalah hari ini misi kita tetap sama yaitu menyempurnakan akhlak alias karakter, dan memberantas mental block.
Salam.
*Bacaan: Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter, Jakarta: Kencana, 2012