Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mau Berkelahi Jangan di Depan Murid, "Silakan di Lapangan, Nah!"

11 Februari 2020   23:37 Diperbarui: 11 Februari 2020   23:55 906
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kalian berdua mau berkelahi? Tuh, silahkan ke lapangan. Biar teman-teman, bapak dan ibu guru yang nonton!"

Kiranya seperti inilah pesan yang sering saya dan rekan-rekan guru berikan saat kami melihat siswa SD yang hampir berkelahi. Entah serumit apa masalah itu hingganya mereka memerahkan muka dan tersulut emosi.

Saat tangan-tangan mereka sudah saling memegang kerah baju, maka saat itulah teguran tadi  dilayangkan. Atau, saat mereka sudah mulai berkelahi pun masih bisa.

Terang saja, jika teman-teman sesama SD yang melerai, mereka yang berkelahi enggan dipisah. Bahkan malah makin tersulut dan ingin lebih. Keberadaan guru sangat penting di sini. Bukan sekadar untuk melerai, melainkan bisa segera memadamkan emosi para siswa yang berkelahi.

Tapi, apa jadinya jika guru yang terbiasa melerai siswa malah gantian berkelahi dan dilerai oleh siswa? Di kelas pula!

Tepatnya pada hari Senin (03/02/2020) kemarin, warga bumi Indonesia dikejutkan dengan video viral yang memperlihatkan dua oknum guru SMA di Medan sedang berkelahi.

Yang menjadikannya miris, perkelahian antara guru Matematika dengan guru Olahraga ini terjadi di dalam kelas dan dilerai oleh siswa. Di sinilah kita kadang jadi bingung, mana yang murid mana yang siswa!

Sebenarnya, kasus ini bermula dari perilaku yang tak beretiket. Niat guru Olahraga yang ternyata adalah anaknya kepala sekolah ini ingin memanggil dua siswa untuk keluar kelas. Hal ini juga merupakan perintah langsung dari wakil kepala sekolah.

Tanpa izin terlebih dahulu dengan guru di kelas, ia langsung saja memanggil dua siswa tadi untuk keluar. Jelas saja, jika seperti itu caranya, guru manapun tidak akan mengizinkan.

"Setelah 10 menit, siswa itu tidak datang. Diulangi kembali lah (oleh guru Olahraga untuk memanggil). Terjadi perkelahian dan adu mulut di dalam kelas." Ujar Kepala Sekolah.

Lebih lanjut, sang Kepala Sekolah menegaskan bahwa guru Matematika ternyata sudah melakukan pembohongan publik dengan menyebutkan pengakuan bahwa motornya sudah dirusak oleh sang guru Olahraga.

Karena sudah terlanjur viral, akhirnya pertikaian ini dimediasi langsung oleh Kapolsek setempat.

Jangan Hanya Siswa, Guru Juga Mesti Beretika

Semua guru memang dituntut untuk mengajarkan etika dan etitut yang baik kepada siswanya. Ajarannya bisa berupa materi, contoh sikap, implementasi perilaku, hingga penilaian benar-salah terhadap sikap-sikap yang terjadi di lapangan.

Namun, sebatas mengajarkan saja tidaklah cukup karena sejatinya guru juga perlu memberi contoh dan teladan yang baik. Terang saja, cara terbaik dan termudah dalam mengajar adalah keteladanan.

Siswa yang tertular kebaikannya karena keteladanan akan secara rela hati mengikuti hal-hal baik yang telah dilakukan guru. Seperti itu sebaiknya pembelajaran itu diwujudkan.

Termasuklah dengan hal-hal sepele yang menjadi awal mula pertengkaran sesama pelayan publik ini.

Memanggil siswa saat mereka sedang belajar, sebenarnya jika tidak terlalu penting maka lebih baik tunggulah sampai jam istirahat. Jam belajar adalah hak siswa, mengajar saat jam belajar adalah kewajiban guru.

Merunut pada pengalaman pribadi saat menjadi guru honorer di salah satu SMP tahun 2017 lalu, saya sering diminta jadi guru piket. Ternyata hampir setiap hari pasti ada tamu yang mencari siswa. 

Alasannya macam-macam. Ada yang sekadar ingin mengantarkan nasi bungkus, memberi tambahan uang jajan, mengantarkan stok pramuka, hingga membawakan buku yang ketinggalan. Namun, karena masih jam belajar semua tamu tadi tidak dipersilahkan bertemu siswa. 

Makanan dan barang-barang tadi boleh dititipkan di meja piket dan baru akan disampaikan kepada siswa saat jam istirahat. Itu lebih baik dan bijak, karena jam belajar sangat penting bagi siswa.

Terang saja, adanya orang yang tidak berkepentingan dan tiba-tiba masuk kelas biarpun itu sesama guru sangatlah mengganggu atmosfer pembelajaran. Jangankan orang, kursi yang tidak sengaja terhentak oleh siswa saja sudah cukup untuk membuyarkan fokus dalam pembelajaran.

Butuh beberapa menit agar guru bisa mengembalikan fokus siswa, dan juga fokus guru itu sendiri. Makanya tidak jarang terdengar kalimat "Eh, bapak tadi cerita sampai mana, ya!". Ini adalah salah satu ungkapan hilangnya fokus guru dalam mengajar. Maka dari itulah, sebaiknya masa-masa mengajar jangan diusik.

Kecuali, memang ada yang mendesak. Semisal ada wali siswa yang menjemput kunci rumah, wali murid yang mengabarkan ada berita duka, atau hal-hal lain yang menyangkut privasi dan kepentingan siswa. Inipun mesti izin dulu. Minimal ucapkan salam dan ketok pintu.

Sederhana memang, hanya ucapkan "Permisi" namun sangat susah bagi orang yang tidak terbiasa. Tanpa etiket ini, wajar saja jika guru tadi tidak mengizinkan siswanya keluar.

Namun, tidak wajar ketika mereka sampai berkelahi di dalam kelas. Entah ke mana malunya, entah ke mana kompetensi kepribadian, profesional dan hafalan kode etik guru yang selama ini lengket dalam gelarnya. Ini sungguh menghancurkan wibawa seorang guru sekaligus membuat kita tepuk jidat.

Atas kisah nyata yang buruk ini, akhirnya Gubernur Sumut Edy Rahmayadi meminta guru yang saling pukul tadi segera dipecat.

"Kita berhentikan gurunya kalau berkelahi. Guru kencing berdiri, muridnya nanti kencing berlari," ucap Edy Rahmayadi Senin (10/2/2020).

Permintaan Pak Edy Rahmayadi ini sekaligus jadi sirene yang kuat bagi seluruh guru di Indonesia agar tidak sembarang bertata sikap di sekolah. Teladan yang ditularkan mestilah teladan yang baik.

Jika teladan baik yang guru berikan, maka siswa bisa jadi akan lebih baik dari gurunya. Sebaliknya, jika guru memberikan teladan yang buruk maka siswanya akan jadi lebih buruk lagi dalam bertata sikap.

Terakhir, kita tidak bisa memungkiri fakta bahwa semua orang punya masalah dan semua guru punya masalah. Namun, tidak etis kiranya jika semua masalah itu diluapkan bukan pada tempatnya. Apalagi ini di sekolah, bukan hanya nama guru yang rusak melainkan juga sekolahnya.

Apa jadinya jika nanti masyarakat setempat tidak mau lagi sekolah di sana. Terang saja, mereka bisa saja khawatir guru di sana tidak akan peduli dengan siswanya. Buktinya, sesama guru saja berkelahi.

Mengingat profesi yang sudah menjadi guru maka bukan saatnya lagi mesti bertikai dan adu tenaga. Bukan saatnya pula harus adu mulut dan saling mencela. Kita punya jalan musyawarah, bisa duduk berdua, bertukar cerita dan gagaskan kesimpulan.

Ini lebih baik dan lebih cocok untuk mencegah terjadinya pertengkaran. Kalaupun mau bertengkar, silahkan! Tapi, jangan di kelas, jangan di sekolah. Di lapangan saja, biar semua orang menyaksikan.

Agaknya, guru tentu lebih pintar, lebih cerdas dan lebih paham dengan teori ini. Tinggal lagi memaksimalkan kepahaman ini dengan teladan dan sikap yang bijaksana.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun