Jika ada pertanyaan tentang siapakah orang yang paling dinanti siswa di kelas, maka jawabannya adalah guru. Terlepas dari garang atau tidaknya, dari senior atau mudanya, bahkan dari enak atau tidaknya pelajaran, guru tetap jadi penantian.
Terang saja, biar bagaimanapun nakalnya siswa di sekolah, kadang-kadang mereka juga pernah dihampiri angin semilir yang bernama kesadaran. Sadar kalau tadi di kelas ia terlalu over nakalnya, sadar kalau tadi di kelas ia lupa buat tugas, hingga sadar kalau tadi ia tidak fokus dalam belajar.
Kesadaran itu cepat atau lambat pasti muncul. Walaupun hanya 1 menit, siswa akan terdiam malu dan menunjukkan wajah sendu pertanda sesal dan minta maaf. Lalu, di menit berikutnya? Ya, ribut lagi... Hahaha
Sebaliknya, guru juga demikian. Kadang-kadang setelah marah-marah di kelas, guru juga dihinggapi angin semilir yang bernama pengakuan hati. Mengaku kalau tadi ia kurang sehat, kurang bersemangat, kurang variasi metode mengajar, hingga kurang fokus dalam mengajar.
Namun, di balik semua itu ada pula beberapa guru yang marahnya hanya kepada siswa yang itu-itu saja. Sayangnya hanya kepada siswa itu-itu saja. Perhatiannya, kasih sayangnya, sampel dalam pembelajarannya, hinggalah lawan komunikasi utamanya. Serasa ingin disimpulkan bahwa guru itu "main hati".
Tidak heran, ini mengakibatkan kecemburuan yang level pro di kalangan siswa.
"Kenapa sih, harus dia terus yang dikisahkan dan dimisalkan oleh ibu guru!"
Jikalau tingkatan siswanya adalah SMP dan SMA, agaknya rasa cemburu ini akan mereka pendam dalam-dalam --meskipun lebih sakit, sih- tapi jika siswanya masih SD maka mereka akan terang-terangan mengungkapkan perasaan cemburunya.
Dari sini, agaknya guru perlu memahami hal-hal sederhana di kelas agar mereka tidak terkesan main hati oleh siswa.
Jangan Memandang Siswa dari Sudut Harta