"Pak, kebilo kito nonton layar tancap lagi?"
"(Pak, kapan kita nonton layar tancap lagi?)"
Inilah pertanyaan yang seringkali muncul dari murid-murid kami di SD saat jam istirahat. Agaknya penggunaan media Proyektor Infokus dalam kegiatan keagamaan beberapa bulan lalu meninggalkan kesan yang mendalam bagi mereka.
Ya, murid-murid belum kenal dengan Infokus karena baru pertama kali melihatnya. Mereka tahunya itu layar tancap, alias pertunjukan menggunakan layar yang biasanya digelar di alam terbuka atau lapangan.
Hal ini mengingatkan saya pada masa kecil, tepatnya di awal tahun 2000-an ketika pemutaran rol-rol film menggunakan layar tancap masih sering digelar.
Saat itu saya masih berumur 5 tahun dan beberapa kali diajak orangtua keluar malam untuk nonton layar tancap dengan tayangan film-film laga. Ditemani jagung rebus, kami dan segenap warga desa duduk di lapangan pinggir jalan sampailah tengah malam.
Mungkin sampai dini hari, karena saat itu saya belum mengerti cara membaca jam. Hihihi
Sempat juga kepikiran, kenapa ya layar tancap di desa kami dulu tidak pernah digelar siang atau sore hari. Padahal, jawabannya tahu sendiri, sih. Ya, kalah saing dengan mentari.
Itu dulu, lebih dari 20 tahun yang lalu. Tapi sekarang? Kembali terulang dan dialami oleh generasi penerus bangsa yang sejatinya sudah kejar-kejaran dengan teknologi. Andai murid kami pindah sekolah ke kota, mungkin mereka akan selalu heran dengan keadaan hari ini.
Terang saja, 20 tahun jika itu umur seorang perempuan maka mungkin hari ini sudah lamaran, atau malah barusan menikah hari Minggu 02-02-2020 kemarin. Uppps, tanggal cantik telah berlalu!
Dan, jika itu adalah umur pendidikan maka alangkah jauhnya tertinggal. Lalu, bagaimana Mas Nadiem? Apa Mas Nadiem juga masih menyebut alat ini layar tancap sebagai bentuk pengakuan bahwa pendidikan kita masih senjang?
Kritik Tentang Pendidikan yang Belum Menemui Kata Pemerataan