Di sekolah manapun, siswa nakal dan super pasti akan terus ada. Tidak terpungkiri memang, entah itu sekolah zaman klasik, zaman pertengahan, zaman modern maupun zaman milenial, selipan siswa nakal dan super tetap ada.
Uniknya, berkembang zaman berkembang pula siswa nakal. Karena hari ini adalah zaman milenial, maka siswa yang nakal juga bermilenialisasi dalam memperbaharui sikap nakalnya.
Berangkat dari sini, timbullah kekurang-sesuaian sikap dalam menghadapi nakalnya siswa milenial. Penggunaan hukuman tepis rotan maupun mistar kayu misalnya, hari ini sudah dianggap kuno seiring dengan kayanya pengetahuan umat tentang psikologi anak.
Namun, emosi tetaplah emosi, guru tetap bisa marah dan kejengkelan jika ada siswa yang keterlaluan. Hal ini tidak sengaja saya temukan beberapa hari yang lalu, bahkan mendengarnya langsung dari mulut seorang guru.
Siswa yang dimarahi memang nakal dan super. Namun, karena mungkin sudah terlalu kesal dan emosi sang guru malah ikut menyebut orangtua siswa yang sejatinya tidak berpendidikan.
"Wajar kamu seperti ini, orangtuamu juga tidak sekolah. apalagi kakakmu itu, tidak jelas kerjanya!"
Jujur saja saya begitu miris mendengarnya. Sedih rasanya jika saat itu saya yang berada di posisi siswa. Terang saja, tidak semua orangtua siswa berasal dari kalangan berpendidikan. Oleh sebab itulah mereka menyekolahkan anaknya, agar nanti ketika dewasa tidak seperti orangtuanya.
Siswa itu Nakal, Tidak Selalu atas Kehendak Dirinya
Nyatanya, jika siswa nakal semua guru juga akan marah. Tapi, marahnya untuk mendidik, menyatakan bahwa kesalahan itu akan berdampak buruk bagi dirinya, bukan marah yang meluap-luap.
Siswa yang dikerasi oleh orangtuanya di rumah, tidak bisa lagi dikerasi di sekolah. Itu faktanya. Mereka sudah terlalu muak dengan kehidupan di rumah hingganya selalu kena marah setiap kali melakukan kesalahan, bahkan walau kecil sekalipun.
Lagi-lagi ini tidak bisa dipungkiri. Barangkali faktor ekonomi begitu menekan kehidupan siswa dan keluarga, hingganya mereka harus terus berperas keringat tanpa sempat menghibur diri.Â
Boleh dilihat di sekolah manapun, siswa yang nakalnya sudah menuju kata "kelewatan" agaknya punya masalah pribadi yang begitu rumit dan menyusahkan.Â
Ia bersikap nakal di sekolah semata-mata untuk mencari perhatian, kebahagiaan, serta melihat canda tawa teman-temannya walau singkat.
Dan jika siswa-siswa seperti ini yang juga dimarahi hingga meluap-luap di sekolah, maka mungkin siswa tadi sudah kebal dengan kemarahan. Apapun tiada akan ia dengar karena semua perkataan guru sudah memantul entah ke mana.
Jikapun siswa tidak punya masalah di rumah, barangkali ia belum menemukan tujuan nyata untuk apa dia sekolah.Â
Pelajaran-pelajaran yang selama ini dikunyah mungkin belum meninggalkan kesan. Masuk telinga kanan, memantul lagi ke luar. Tidak mau singgah di otak.
Siswa ingin mengejar ranking 1 di kelas, saingannya berat-berat. Siswa sesekali dapat nilai bagus malah dituduh menyontek dan tugasnya dikerjakan oleh kakak atau orangtuanya di rumah. Jika seperti ini kejadiannya, solusi siswa ya menjadi nakal.
Mau bagaimana lagi. Saat siswa di rumah, ia sering ditinggal ke kebun oleh orangtuanya. Saat siswa sekolah ia tak dianggap. Bagaimana caranya agar siswa bisa dianggap?Â
Bagaimana lagi kalau tidak menjadi nakal. Padahal kesempatan semua siswa untuk beprestasi itu sama, tinggal memulainya saja.
Jika Masih Bisa Dinasihati, Mengapa Harus Dimarahi?
Apapun dan bagaimanapun bentuk kenakalan siswa, selama tidak mengarah pada kriminal dan membahayakan nyawa orang lain, agaknya masih bisa disejukkan dengan nasihat.
Terang saja, kegiatan marah-marah itu begitu mudah menghilangkan mood. Bayangkan saja jika guru sudah marah pada jam pertama di kelas A, apakah sesudah itu guru akan semangat mengajar?
Akhirnya siswa satu kelas jadi korban. Entah itu tentang tambahan tugas yang bertumpuk-tumpuk, dijemur di lapangan, hingga gurunya yang tidak mau lagi masuk kelas.
Padahal, jika sudah benar-benar kesal guru cukup diam saja tanpa suara. Paling-paling berbatas waktu hingga 1 menit. Sisanya siswa akan sadar dan mulai mendiamkan dirinya dan seisi kelas.
Diam sejenak juga akan menjaga mood guru agar tetap stabil, sekaligus mengasah kesabaran dalam mengajar. Itulah tantangan berat guru, yaitu selalu sabar dalam mendidik siswa apapun kondisinya.
Guru diam, siswa akan diam. Setelah itu guru bisa memberikan petuah dan nasihat juga dengan nada bicara yang pelan, tanpa harus meluapkan kemarahan.
Memang di waktu yang lain siswa masih akan terus mengulang kenakalan dan keributannya. Tapi, perlahan mereka bisa sadar bahwa saat guru sudah diam, itu tandanya guru sudah marah.Â
Walaupun biang keributan dan kenakalan di kelas hanyalah satu orang, beberapa siswa lain sudah cukup untuk menenangkan isi kelas.
Tiada guna pula guru memarahi satu orang siswa di kelas maupun di ruang guru hingga menyebut nama-nama keluarga dan orangtuanya.Â
Siswa bisa berubah dan berhak berubah. Itulah gunanya mereka disekolahkan.
Siapa tahu dengan siswa rajin bersekolah kemudian ia memiliki karakter dan kepribadian yang mantap, keluarganya akan menaruh perhatian lebih. Hidayah Tuhan, kita tidak tahu!
Oleh karena itulah guru jangan pernah berhenti menasihati siswa. Menasihati dalam kebenaran dan menasihati dalam kesabaran.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H