Ia bersikap nakal di sekolah semata-mata untuk mencari perhatian, kebahagiaan, serta melihat canda tawa teman-temannya walau singkat.
Dan jika siswa-siswa seperti ini yang juga dimarahi hingga meluap-luap di sekolah, maka mungkin siswa tadi sudah kebal dengan kemarahan. Apapun tiada akan ia dengar karena semua perkataan guru sudah memantul entah ke mana.
Jikapun siswa tidak punya masalah di rumah, barangkali ia belum menemukan tujuan nyata untuk apa dia sekolah.Â
Pelajaran-pelajaran yang selama ini dikunyah mungkin belum meninggalkan kesan. Masuk telinga kanan, memantul lagi ke luar. Tidak mau singgah di otak.
Siswa ingin mengejar ranking 1 di kelas, saingannya berat-berat. Siswa sesekali dapat nilai bagus malah dituduh menyontek dan tugasnya dikerjakan oleh kakak atau orangtuanya di rumah. Jika seperti ini kejadiannya, solusi siswa ya menjadi nakal.
Mau bagaimana lagi. Saat siswa di rumah, ia sering ditinggal ke kebun oleh orangtuanya. Saat siswa sekolah ia tak dianggap. Bagaimana caranya agar siswa bisa dianggap?Â
Bagaimana lagi kalau tidak menjadi nakal. Padahal kesempatan semua siswa untuk beprestasi itu sama, tinggal memulainya saja.
Jika Masih Bisa Dinasihati, Mengapa Harus Dimarahi?
Apapun dan bagaimanapun bentuk kenakalan siswa, selama tidak mengarah pada kriminal dan membahayakan nyawa orang lain, agaknya masih bisa disejukkan dengan nasihat.
Terang saja, kegiatan marah-marah itu begitu mudah menghilangkan mood. Bayangkan saja jika guru sudah marah pada jam pertama di kelas A, apakah sesudah itu guru akan semangat mengajar?
Akhirnya siswa satu kelas jadi korban. Entah itu tentang tambahan tugas yang bertumpuk-tumpuk, dijemur di lapangan, hingga gurunya yang tidak mau lagi masuk kelas.
Padahal, jika sudah benar-benar kesal guru cukup diam saja tanpa suara. Paling-paling berbatas waktu hingga 1 menit. Sisanya siswa akan sadar dan mulai mendiamkan dirinya dan seisi kelas.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!